Diberdayakan oleh Blogger.

Edisi Khusus Hari Kemerdekaan : Imam Pemberontak Dari Malangbong

Sabtu, 09 Februari 2013

Majalah Tempo Terbitan Edisi 16 Agustus 2010 menyajikan edisi khusus hari kemerdekaan yang menyajikan kisah seputar Negara Islam Indonesia. Dalam Laporan utamanya menyajikan beberapa tulisan diantaranya berjudul : Imam Pemberontak Dari Malangbong. Berikut tulisannya :
Berasal dari keluarga abangan, sekarmadji maridjan Kartosoewirjo menjadi pemimpin pemberontakan darul islam. hampir lima puluh tahun setelah kematiannya, pemikiran dan cita-cita mendirikan negara islam masih bergelora di kalangan sebagian umat islam negeri ini.
DI Teluk Jakarta, sang “Imam” mengembuskan napas terakhir setelah tubuhnya diterjang peluru regu tembak. Toh, hampir lima puluh tahun setelah kematiannya, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo masih terus mengilhami berbagai kelompok di negeri ini yang ingin menegakkan sebuah “Negara Islam”-baik dengan jalan damai maupun kekerasan.

Kendati dikenal sebagai pemimpin Islam, pria kelahiran Cepu, Jawa Tengah, 7 Januari 1907, itu sesungguhnya sosok yang tak terlalu “islami”. Ayahnya, Kartosoewirjo, adalah seorang mantri candu-pangkat yang cukup tinggi untuk seorang “inlander” di masa kolonial. Candu dan Islam jelas bukan pasangan yang padan.

Keluarga Kartosoewirjo memang tergolong priayi feodal, dan bukan pemeluk Islam yang taat. “Keluarga kami cenderung abangan,” kata salah seorang anggota keluarga di Cepu. Masa kecil Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo pun tak karib dengan pendidikan agama. Dia terus-menerus menempuh pendidikan di sekolah Belanda.

Setelah menamatkan Inlandsche School der Tweede Klasse, yang dikenal sebagai “Sekolah Ongko Loro”, Karto kecil melanjutkan sekolah ke Hollands Inlandsche School di Rembang, Jawa Tengah. Setelah itu, dia meneruskan pendidikan ke Europeesche Lagere School, sekolah elite khusus untuk anak Belanda, di Bojonegoro, Jawa Timur.

Hanya anak pribumi cerdas dan berasal dari keluarga amtenar yang boleh masuk sekolah itu. Kemudian dia melanjutkan lagi pendidikan ke Nederlandsch Indische Artsen School-biasa disebut Sekolah Dokter Jawa-di Surabaya.

Di masa remaja, Kartosoewirjo yang mulai tertarik pada dunia pergerakan justru akrab dengan pemikiran kebangsaan-bahkan “kiri”. Dia diketahui banyak membaca buku sosialisme yang diperoleh dari pamannya, Mas Marco Kartodikromo.

Marco dikenal sebagai wartawan dan aktivis Sarekat Islam beraliran merah. Terpengaruh bacaan itu, Kartosoewirjo terjun ke politik dengan bergabung di Jong Java dan kemudian Jong Islamieten Bond.
Pengetahuan agama Islam praktis digalinya secara otodidak, lewat literatur berbahasa Belanda dan persentuhan dengan sejumlah kiai. Guru mengajinya yang pertama adalah Notodihardjo, aktivis Partai Sarekat Islam Indonesia sekaligus Muhammadiyah di Bojonegoro. Penampilan Notodihardjo tipikal Islam-Jawa: tutur katanya halus dan dia selalu mengenakan blangkon, beskap, dan selop.

Adapun gurunya di dunia pergerakan, sekaligus guru agamanya terbesar, tak pelak lagi adalah Haji Oemar Said Tjokroaminoto-tokoh yang disebut Belanda “Raja Jawa tanpa Mahkota”. Terpesona oleh pidato “singa podium” itu, Karto melamar menjadi murid dan mulai mondok di rumah Ketua Sarekat Islam itu di Surabaya.

Untuk membayar uang pondokan, Karto bekerja di surat kabar Fadjar Asia milik Tjokroaminoto. Ketekunan dan kecerdasan membawa Kartosoewirjo menjadi sekretaris pribadi mertua pertama Soekarno itu.

Patut dicatat, Tjokroaminoto juga dikenal sebagai guru bagi Semaoen yang beraliran komunis dan Soekarno yang beraliran nasionalis. Kesamaan tujuan untuk memerdekakan Indonesia dari penjajahan Belanda membuat mereka bersatu dan mengesampingkan perbedaan.

l l l
KETIKA tinggal di Malangbong, Garut, Kartosoewirjo kembali mempelajari Islam dari sejumlah ajengan, alias kiai lokal, seperti Ardiwisastra dari Malangbong, Kiai Mustafa Kamil dari Tasikmalaya, dan Kiai Yusuf Tauziri dari Wanareja. Ardiwisastra belakangan menjadi mertua dan sekutu dekatnya dalam perjuangan menegakkan Negara Islam.

Sebaliknya, Yusuf Tauziri menjadi lawan tangguh dalam arti sesungguhnya bagi Kartosoewirjo. Beberapa kali anak buah Yusuf yang menolak proklamasi Darul Islam terlibat baku tembak dengan pasukan Kartosoewirjo di medan tempur.

Dengan latar belakang Islam-Jawa seperti itu, bukan hal ajaib jika muncul cerita Kartosoewirjo pernah melakukan tapa geni tidak makan dan tidak minum selama 40 hari di Gua Walet, Gunung Kidul, Yogyakarta. Dia meyakinkan pengikutnya bahwa bertapa juga dilakukan Rasulullah ketika memperoleh wahyu pertama di Gua Hira.

Dalam buku Pedoman Dharma Bhakti Negara Islam Indonesia jilid ketiga, Kartosoewirjo disebut dengan banyak julukan: Ratu Adil, Imam Mahdi, Sultan Heru Tjokro, dan Satrija Sakti. Julukan itu sesuai dengan ramalan Joyoboyo, raja sekaligus pujangga Jawa yang menubuatkan akan munculnya seorang pemimpin umat manusia.

Konon ada pula kepercayaan mistis di kalangan masyarakat Jawa Barat bahwa Kartosoewirjo akan bisa menjadi Ratu Adil dan selalu menang perang jika bisa menyatukan dua senjata pusaka: keris Ki Dongkol dan pedang Ki Rompang. Kedua pusaka itu memang selalu dibawanya ketika bergerilya di hutan.

Menyimak profil Kartosoewirjo itu, tak aneh bila ahli politik Islam, Bahtiar Effendy, menilai dia sesungguhnya tak memiliki landasan ideologi yang kuat untuk mendirikan Negara Islam. Bahtiar-dan beberapa ahli politik Islam lain-lebih merujuk pada kekecewaan Kartosoewirjo terhadap Perjanjian Renville, yang dianggapnya merugikan kepentingan umat Islam, untuk memberontak dari “pemerintahan kafir” Soekarno.

Toh, pemberontakan Kartosoewirjo di Jawa Barat bersama Daud Beureueh di Aceh dan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan telah ikut mewarnai sejarah pembentukan Republik yang masih berusia muda. Puluhan tahun setelah ketiga tokoh itu wafat, semangat mendirikan Negara Islam terbukti tak kunjung padam di kalangan sebagian umat Islam. Kaderisasi di antara mereka pun sepertinya tak pernah terputus.

Pengusung cita-cita Negara Islam itu boleh saja terpecah-belah karena alasan ideologi atau kepentingan pribadi pemimpinnya. Ada yang memilih mengembangkan pendidikan, berjuang dengan program advokasi, ada pula yang tetap menghalalkan jalan kekerasan. Kelompok lain diyakini menjadi cikal bakal Jamaah Islamiah. Namun semuanya tetap mengaku penerus cita-cita Kartosoewirjo.
l l l
UNTUK mengumpulkan bahan penulisan edisi khusus Kartosoewirjo ini, kami mengundang beberapa ilmuwan, peneliti, dan saksi sejarah dalam beberapa sesi diskusi di kantor redaksi Tempo. Ahli politik Islam, Bahtiar Effendy, dan Solahudin, seorang peneliti Darul Islam, memberikan banyak perspektif tentang tokoh karismatis ini. Mereka juga memberikan rujukan sejumlah literatur mengenai Kartosoewirjo dan gerakan Darul Islam, dari karya klasik sampai kontemporer.

Sardjono, putra bungsu Kartosoewirjo, menceritakan pergulatan keluarganya yang dianggap sebagai gembong pemberontak. Memang, setelah ayahnya dieksekusi, giliran dua kakak kandungnya, Dodo Muhammad Darda dan Tahmid Rahmat Basuki, tampil menjadi tokoh baru Darul Islam.

Riwayat Sardjono sendiri cukup unik. Dia lahir di hutan, di medan gerilya ayah dan ibunya. Usianya baru lima tahun ketika Kartosoewirjo tertangkap dan seluruh keluarganya memutuskan menyerah dan keluar dari hutan. Dengan ingatan kanak-kanak yang terbatas, dia membantu merekonstruksi apa yang terjadi di hutan, di saat-saat terakhir perlawanan sang Imam dan pengikutnya.

Kami juga mengundang Sofwan, bekas juru warta Ma’had Al-Zaytun, yang dikenal sebagai pesantren milik bekas pengikut Negara Islam Indonesia. Mantan tangan kanan Abdussalam Toto alias Panji Gumilang ini mengaku sudah keluar “secara baik-baik” dari Al-Zaytun. Diskusi yang berlangsung seru dan kadang diselingi gelak tawa itu selalu diawali makan siang atau makan malam ala Tempo.
Melengkapi tulisan, kami melakukan napak tilas ke sejumlah tempat bersejarah. Sardjono menemani dan menunjukkan lokasi-lokasi tempat Kartosoewirjo dan anak buahnya pernah bergerilya selama 13 tahun di hutan dan gunung sekitar Garut dan Tasikmalaya, Jawa Barat.

Bersama Sardjono pula kami pergi ke Pulau Onrust di Teluk Jakarta. Di sana ada sebuah makam yang diyakininya sebagai kubur ayahnya. Selama ini sejumlah literatur dan saksi sejarah hanya bercerita bahwa Kartosoewirjo dieksekusi dengan ditembak mati di sekitar Teluk Jakarta. Namun tak diketahui di mana jenazah sang Imam dikebumikan.

Tim Edisi Khusus :
Penanggung Jawab: Nugroho Dewanto Kepala Proyek: Bagja Hidayat Penyunting: Nugroho Dewanto, Bina Bektiati, Mardiyah Chamim, Idrus F. Shahab, Purwanto Setiadi, Arif Zulkifli, Budi Setyarso, Muhammad Taufiqurohman, L.R. Baskoro, Seno Joko Suyono, Hermien Y. Kleden, Amarzan Loebis Penulis: Nugroho Dewanto, Bagja Hidayat, Sunudyantoro, Harun Mahbub Billah, Dwidjo Utomo Maksum, Yandi M. Rofiyandi, Anton Aprianto, Wahyu Dhyatmika, Budi Riza, Yophiandi Kurniawan, Anne L. Handayani, Nurkhoiri, Fery Firmansyah, Angelus Tito Sianipar, Yuliawati, Ramidi, Erwin Dariyanto, Ahmad Taufik, Oktamandjaya Wiguna, Sapto Pradityo, Nurdin Kalim, Retno Sulistyowati, Suryani Ika Sari Penyumbang Bahan: Widiarsi Agustina, Cheta Nilawaty (Jakarta), Gilang Mustika Ramdani, Ahmad Fikri, Angga Wijaya (Bandung), Sigit Zulmunir (Garut), Jayadi Supriyadin (Tasikmalaya), Deden abdul Aziz (Sukabumi) Sudjatmiko (Rembang, Cepu, Bojonegoro), Sohirin (Semarang), Erwin Dariyanto (Brebes), Kukuh S. Wibowo (Surabaya) Bahasa: Uu Suhardi, Dewi Kartika Teguh W., Sapto Nugroho Foto: Aryus P. Soekarno (Koordinator), Bismo Agung, Dwi Narwoko, Aditya Herlambang Desain: Gilang Rahadian, Eko Punto Pambudi, Hendy Prakasa, Kiagus Auliansyah, Ajibon, Agus Darmawan S., Tri Watno Widodo

Sumber Tulisan : Tempo online
Tulisan Selanjutnya lihat disini Jejak Perjuangan Kartosoewirjo

Peran “Ulama” Djawa Barat dalam Operasi “Pagar Betis”

Jumat, 08 Februari 2013

Penumpasan DI/TII termuat dalam Rencana Pokok (RP) dan Rencana Operasi (RO), sebagai berikut : pada tahun 1958 merupakan tahun kebangkitan pemikiran Kodam III/Siliwangi ke arah pemulihan keamanan di Jawa Barat yang lebih efektif dan efisien. Kemudian lahirnya konsep Perang Wilayah (sudah disahkan dengan Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960 merupakan manifestasi dari Undang-undang Dasar 45, pasal 30 ayat 1, yang menjelaskan bahwa setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam pembelaan negara. Sementara itu penelitian anti gerilya berjalan terus, dan diantaranya keluarlah Rencana Pokok 211 (RP 211) yang berbunyi “Membatasi gerak dari lawan”.
Menyesuaikan dengan mobilitas DI/TII, maka keluarlah pada waktu itu Rencana Operasi 212 pada 1 Desember 1959. Kemudian bulan Pebruari 1961 dikeluarkan Rencana Operasi 2121 (RO 2121) yang merupakan percepatan dari RO 212, isinya berupa kebijaksanaan bahwa pemulihan keamanan untuk wilayah Jawa Barat akan diselesaikan dalam jangka waktu itu, hanya sampai tahun 1965. Tetapi dalam RO 2121 jangka waktu itu hanya sampai dengan tahun 1962.

Peran Ulama Djawa Barat Pendukung Pagar Betis
Pada tahun 1956, para ulama di Priangan Timur, yang jadi basis utama gerakan DI/TII, mengambil inisiatif untuk mengadakan pertemuan dengan kalangan militer. Atas prakarsa kalangan militer, maka terbentuklah Badan Musyawarah Alim Ulama (BMAU) pada 18 Maret 1957 di Tasikmalaya. Prakarsa tersebut merupakan bagian dari kebijakan Komandan Resimen 11 Galuh Letkol Syafei Tjakradipura dan Kepala Stafnya Mayor Poniman. Resimen Galuh ini memiliki wilayah kerja Tasikmalaya dan Ciamis (Priangan Timur).

BMAU ini didirikan setelah para ulama, wakil militer dan pemerintah mengadakan pertemuan di Gedung Mitra Batik Tasikmalaya (kini, Toserba Yogya). Ulama yang hadir dalam pertemuan itu adalah KH. Ruhiyat Rois Syuriah Nahdlatul Ulama Cabang Tasikmalaya (Pesantren Cipasung), KH Ishak Farid (Pesantren Cintawana), KH Fathoni (Ciamis), KH Holil Dahu (Ciamis), pengasuh Pondok Pesantren Jamanis, KH O. Hulaimi Ketua Tanfidziayah Nahdlatul Ulama Tasikmalaya (Cikalang Tasikmalaya), KH R. Didi Abdulmadjid, KH. Burhan Sukaratu dan KH.Didi Dzulfadli Kalangsari (Tasikmalaya). Hadir juga Mayor R. Mustari dari Rohis (Perawatan Rohani Islam) Resimen Galuh. Selain itu ada juga Bupati Tasikmalaya dan Bupati Ciamis serta wakil-wakil dari kepolisian dan beberapa partai politik. Pertemuan itu mengambil sejumlah kesepakatan, dan yang ditunjuk memimpin BMAU itu adalah KH. R. Didi Abdulmadjid sebagai Ketua dan KH. Irfan Hilmy sebagai Penulis. Akan tetapi tidak diketemukan suatu dokumentasi dan keterangan bagaimana struktur dan personil selengkapnya dari BMAU ini.

Salah satu tujuan BMAU ini adalah untuk memulihkan stabilitas keamanan di Priangan Timur. BMAU ini juga berfungsi untuk menyelenggarakan kegiatan pengajian, pendidikan, dan dakwah. Dengan demikian, cikal-bakal Majelis Ulama bisa dinyatakan adalah BM-AU ini. Melalui BMAU ini para ulama mewujudkan upaya menjaga keutuhan RI dengan jalur ishlah bainan naas (perdamaian antara sesama manusia).

Pertemuan alim ulama dan Pemerintah, sipil dan militer kemudian berlanjut diadakan pula didaerah lain, seperti Konferensi Alim Ulama Militer se-Kresidenan Banten, pertemuan Ulama Umaro Sumedang pada Juni 1958, Garut dan Bandung pada Juli 1958.
Pada 12 Juli 1958, Staf Penguasa Perang Daerah Swatantra I Jawa Barat mengeluarkan Pedoman Majelis Ulama, dinyatakan Majelis Ulama berasas Islam dan mempunyai tujuan melaksanakan kerjasama dengan alat negara Republik Indonesia dalam bidang tugasnya yang sesuai dengan ajaran Agama Islam. Dan pada 11 Agustus 1958 mengeluarkan Instruksi No.32/8/PPD/1958 kepada Semua Pelaksana Kuasa Perang Di Daerah Swatantra I Jawa Barat untuk membentuk Majelis Ulama didaerahnya masing-masing berdasarkan pada dan sesuai dengan Pedoman terlampir, dan Pelaksana Kuasa Perang yang sudah terlebih dulu membentuk Majelis tersebut supaya menyesuaikannya dengan Pedoman ini.

Sebagai peningkatan dan lebih mengokohkan posisi Majelis Ulama, diselenggarakanlah Konferensi Alim Ulama-Umaro pada 7 9 Oktober 1958 bertepatan dengan 2 – 4 Rabi’ul Tsani 1377 H, di Lembang Bandung, dengan sebuah Panitia Penyelenggara yang dipimpin Let.Kol. Omon Abdurachman sebagai Ketua Umum, seorang Perwira TT III / Siliwangi. Konferensi ini diselenggarakan pasti sudah, untuk mengokohkan kebersamaan dalam menegakkan NKRI. Juru bicara Resimen 11 Galuh dalam Pemandangan umumnya antara lain mengemukakan “Setelah BMAU didirikan atas kebijaksanaan Komandan RI 11 disertai C.PR.A.D-nya dan mendapat sambutan dan dukungan yang hangat daripada ulama make segala kecurigaan, tekanan, fitnahan terhadap alim ulama lenyap dan timbul kerjasama yang erat dan saling harga menghargai disegala lapangan”. Disampaikan pula bahwa: “Rapat Alim Ulama Resimen Infantri 11 tanggal 3 Oktober 1958 di Staff Resimen Infantri 11 menyetujui BMAU diganti manjadi MU”. Dan yang juga menjadi bahan pertimbangan adalah keputusan Konferensi Alim Ulama Militer se-Karesidenan Banten: “mengenai penempatan APRI dan alat negara bersenjata lainnya, harus dapat menyesuaikan diri dengan adat istiadat dan Agama didaerah mereka bertugas”, dan “mengenai para tahanan, terutama alim ulama, yaitu supaya mendapat pelayanan dan perawatan yang layak dan segera dilakukan pemeriksaan dengan care yang jujur dan adil”.

Para tokoh ulama itu pulalah yang kemudian terlibat dalam Konferensi Alim Ulama-Umaro Daerah Swatantra I Jawa Barat di Lembang, Bandung pada 7-9 Oktober 1958. Konferensi tersebut menghasilkan keputusan yang berkaitan dengan tiga persoalan pokok yang dihadapi seat itu yakni (a) usaha menyempurnakan pemulihan keamanan dan pemeliharaannya, (b) usaha menyempurnakan pembangunan dan (c) usaha penyempurnaan pendidikan dan kebudayaan.

Dalam Konferensi Lembang ini hadir memberikan Kata Sambutannya: Menteri Agama, KH. Moh. Ryas, Menteri Negara Urusan Kerjasama Sipil dan Militer, KH.Wahib Wahab, K.S.A.D. Jenderal A.H. Nasution, Ketua Pengurus Perang Daerah Swatantra I Jawa Barat /Panglima Teritorium III / Siliwangi Kol.RA. Kosasih.

Diantara Keputusan Konferensi ini adalah penegasan “Menyetujui dan Mempertahankan kebijakan Ketua Penguasa Perang Daerah Swatantra I Jawa Barat dalam membentuk Seksi Rohani dan Pendidikan beserta bagian-bagiannya (Lembaga Kesejahteraan Ummat dan “Majelis Ulama”), sebagai badan Kerja Sama Ulama-Militer-Umaro “.

Maka karenanya, personalia dengan struktur yang ditetapkan oleh Staf Penguasa Perang Daerah Swatantra I Jawa Barat No. 53/8/PPD/58 tanggal 22 Agustus 1958 bersama dengan Pedoman Majelis Ulama tanggal 12 Juli 1958, yang telah diuraikan dimuka, mendapat legitimasi yang sangat kuat, untuk menghadapi situasi Jawa Barat pada kala itu.
Dengan modal ini, yang selanjutnya ditempuh jalan gerakan “Pagar Betis” menghadapi DI/TII, telah tercapai pemulihan keamanan di Jawa Barat.
Jendral A.H. Nasution adalah penggerak utama “Rencana Dasar 2,1″, yaitu gagasan yang mendasari : Musuh harus ditahan didaerah-daerah tertentu, dan aksi-aksi Republik harus dipusatkan pada salah satu daerah ini sekaligus, dengan demikian pangkalan musuh ditumpas satu demi satu. Itulah sebabnya, Divisi Siliwangi dengan dibantu Divisi Diponegoro dan Brawijaya, -yang tentu tidak merupakan kekuatan yang cukup-, pada tahun 1960 seluruh penduduk sipil Jawa Barat diturutsertakan dalam apresiasi, dan dibentuklah secara besar-besaran “Pagar Betis”.

Dalam gerakan “Pagar Betis” yang kadang-kadang berlangsung berhari-hari ini, penduduk sipil membentuk garis maju berangsur-angsur, dengan satuan-satuan kecil tiga sampai empat prajurit pada jarak-jarak tertentu, tidak terlalu jauh satu sama lain. Dalam teori, pagar betis ini disokong satuan-satuan militer dibaris depan maupun dibaris belakang. Prajurit dibarisan belakang merupakan semacam cadangan yang dapat digunakan pada tempat-tempat yang sukar dimasuki digunakan taktik tidak dimasuki, tetapi dikepung.

Dalam praktek, Tentara Republik kadang-kadang menggunakan “Pagar Betis” menjadi “Perisai Manusia”. Teknik lain yang digunakan, untuk memaksa pasukan DI/TII menyerah adalah dengan menduduki sawah yang diduga dimiliki atau dikerjakan oleh kaum kerabat mereka, agar panen tidak digunakan untuk memberi makan pasukan DI/TII. Dari proses inilah lahir adagium ” Siliwangi adalah Jawa Barat dan Jawa Barat adalah Siliwangi”.
 
Maka model atau pola hubungan antara Ulama-Umaro yang dikembangkan di Jawa Barat ini kemudian menjadi salah satu prototipe model hubungan ulama dan umaro pada tingkat nasional.
Maka pada tingkat nasional, pada 17 Rajab 1395 bertepatan dengan 26 Juli 1975, atas prakarsa kebijakan Pemerintah dan terapan Menteri Agama RI (Prof.Dr. H.A. Mukti Ali), Prof. Dr. HAMKA dan tokoh Bangsa lainya, dibentuklah Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Musyawarah Nasional I di Jakarta, tanggal 21 – 27 Juli 1958 bertepatan dengan 11 – 17 Rajab 1395.

Majelis Ulama Jawa Barat yang sudah terbentuk jauh sebelumnya sudah barang tentu turut memberikan saran dan pandangan pada pertemuan pembentukan MUI itu.

Sumber Referensi: 

Hari-hari terakhir ~Tah ieu teh Hudaibiyah ~

Pada tanggal 15 Mei 1962, Kartosoewirjo, mendapat laporan bahwa pasukan DI/TII yang tersebar di gunung Cakrabuana, gunung Guntur serta gunung Galunggung telah kocar-kacir. Tak hanya itu, juga mendengar kondisi fisik pasukannya kian lemah, kehabisan tenaga. Kondisi yang tak jauh beda dengan dirinya. Saat itu Sang Imam ini sedang sakit, Ia menderita penyakit gula serta kurang gizi. Sembari tergolek lemah, ia mendapat laporan dari ajudannya bahwa TNI yang sudah dekat dengan rombongan yang berjumlah 46 orang. Muhammad Darda, Komandan Markas serta Aceng Kurnia, ajudan Kartosuwirjo telah bertekad akan perang mati-matian kalau musuh datang.
“Kalau musuh datang, kita akan tembak. Menyerah berarti dosa. Kita harus siap yuqtal au yaglib (membunuh atau terbunuh)”, tegas Dodo Muhammad Darda. Mendengar ucapan anaknya itu, Kartosoewirjo diam sejenak. Setelah itu ia berkata ” Kondisi saat ini sudah tidak memenuhi syarat lagi untuk Yuqtal au Yaglib“. Seorang pemimpin bisa memberi komando perang kalau ada tenaga, senjata serta keberanian tempur. kalau itu tidak ada, yuqtal au yaglib menjadi dzolim karena tak memenuhi syarat. “Dalam kondisi sekarang, kalau musuh datang biar Bapak yang menghadapi. Urusan-urusan lain biar Bapak yang selesaikan. Yang penting kalian taati kendati tidak ikhlas maupun tidak ridha”.
Pada 2 Juni 1962, terjadi lagi percakapan antara Aceng Kurnia, Dodo Muhammad Darda dengan Sang Imam. Aceng Kurnia yang menjadi Komandan regu pengawal Imam menceritakan pengalamannya yang mengusik pemikirannya, bahwa ia pernah merasakan seolah-olah berada dalam keadaan antara mimpi dan kenyataan. Dalam mimpinya itu, ia seperti sedang diperlihatkan kepada gambaran masa depan hidup berbaur dengan musuh. Mimpi serupa juga dialami oleh Dodo. Bahkan Dodo dalam mimpinya melihat seorang tentara DI/TII setingkat komandan regu sedang berjualan es dawet di tengah-tengah masyarakat, berjualan dari satu kampung ke kampung lain. Mengomentari kedua orang tersebut, Kartosoewirjo menegaskan bahwa itu tanda perubahan perjuangan dalam beberapa tahun ke depan. Ia juga kembali menegaskan sikapnya bahwa kondisi saat ini tak memenuhi syarat lagi untuk berperang. Dia juga menegaskan kepada keduanya, Lain kudu ridho, tapi narima kana rukun iman nu ka genep, bi syarrihi wa khoerihi (Tidak harus ridho, tetapi menerima terhadap rukun iman yang keenam, baik dalam keadaan baik maupun keadaan buruk).

Pada 4 Juni 1962, perjalanan rombongan Kartosoewirjo telah sampai di sebuah lembah antara gunung Sangkar dan gunung Geber, disekitar Bandung Selatan. Pagi itu hujan deras yang disertai angin kencang mengguyur daerah itu. Pasukan DI/TII pun memilih berteduh di tenda-tenda darurat. Tak disangka, terdengar suara tembakan dari bawah bukit. Pasukan yang berkekuatan tiga peleton itu telah mengepung rombongan Sang Imam. Aceng Kurnia segera melapor. Semua pengawal yang berada disekitar sang Imam bersiap-siap dengan senjatanya. Mereka bertekad akan perang sampai mati. Aceng Kurnia dan Dodo sudah berada dalam posisi siap tembak. Ketika pasukan TNI sudah semakin dekat ke tenda yang ditempati Kartosoewirjo, tiba-tiba Kartosoewirjo yang sedang dalam keadaan berbaring berkata :”Ulah nembak, ngagugu kahayang Muh (Dodo) wae mah atuh beak mujahid” (Jangan menembak, Kalau mengikuti keinginan Dodo, semua mujahid bakal habis). Mendengar perintah ini, Aceng Kurnia dan Dodo pun meletakan senjatanya. Mereka keluar sambil angkat tangan. Di luar mereka disambut oleh Letda Suhanda yang didampingi dua anggotanya, Amir dan Suhara. Letda Suhanda kemudian menyalami keduanya sambil bertanya. “Mana Pak Imam?” “Tah eta” (itu dia) kata Dodo sambil menunjukan tenda. Suhanda pun masuk kedalamnya. Kartosoewirjo tampak dalam keadaan payah dan berbaring di lantai gubuk itu dan mengenakan jaket militer dan sebuah sarung. Meskipun saat ditangkap dia berusia 55 tahun, tapi dia kelihatan seperti seorang lelaki tua yang lebih dari umurnya.

Setelah itu, tanpa banyak bicara, Suhanda memerintahkan anak buahnya membuat tandu. Aceng Kurnia dan Dodo kemudian membangunkan Kartosoewirjo dan memapahnya ke arah tandu. Saat itu, tiba-tiba Kartosoewirjo berbisik, “Tah ieu teh Hudaibiyah jang urang mah. (Inilah Hudaibiyah bagi kita)”. Perkataan itu diucapkan tiga kali masing-masing sambil menengok kepada Aceng Kurnia satu kali, Dodo sekali dan yang ketiga sebagai penegasan.

Dua hari setelah penangkapan, Kartosoewirjo memerintahkan Dodo Muhammad Darda untuk mengeluarkan seruan kepada pasukan TII yang ada di gunung agar turun dan meletakan senjata. Awalnya perintah itu tak dituruti oleh Dodo, karena ia merasa tak berwenang mengeluarkan perintah. Sebagai Komandan Markas ia tidak memiliki hubungan administrasi, kecuali dengan sesama anggota markas. Dodo merasa bahwa perintah Imam kali ini adalah sesuatu yang berat baginya, dan ia pun telah mempertimbangkan dampak pelaksanaan perintah tersebut. Akibatnya terjadilah perdebatan antara Dodo dengan Kartosoewirjo. Menurut Dodo, ia hanya bisa membuat seruan tersebut kepada Tahmid Rahmat Basuki (Komandan Kala), sedangkan kapada yang lain tidak bisa. “Kalau begitu”, kata Imam, “Perintah ditujukan kepada Tahmid dan berlaku untuk semua.” Akhirnya Dodo pun menyetujui bagi melaksanakan perintah ayahnya.

Kemudian, Dodo bersama-sama dengan Ibrahim Ajie, panglima KODAM Siliwangi menyusun seruan itu. Sempat terjadi perdebatan antara Dodo dengan Ibrahim Ajie. Ibrahim Ajie meminta kepada Dodo untuk memasukan kalimat yang mengatakan bahwa Jihad DI adalah keliru dan harus kembali ke jalan yang benar. Dodo menolaknya, dia bersikukuh hanya akan membuat seruan yang berisi perintah turun gunung. Ibrahim Ajie pun mengalah. Akhirnya dibuatlah seruan itu yang isinya, antara lain meminta Tahmid Basuki selaku Komandan Kala beserta seluruh rombongannya untuk menyerahkan diri. Disebutkan juga bahwa para pejuang NII diminta menghentikan tembak menembak dengan tentara TNI. Selain itu, disebutkan juga bahwa Kartosoewirjo bertanggungjawab atas semua tindakan pasukan NII.

Lengkapnya seruan tersebut berbunyi sebagai berikut :
  1. Saya Moh. Darda selaku Komandan Bantala Seta, atas nama dan atas perintah bapak S.M. Karosoewirjo, mengharapkan kepada saudara Tahmid Basuki selaku Komandan Kala beserta seluruh rombongan, agar turun bersama-sama mengikuti bapak (S.M. Kartosoewirjo) segera seterimanya seruan dan perintah ini.
  2. Semua tindakan saya dan tindakan saudara-saudara beserta seluruh Djami’atul Mudjahidin, dipertanggungjawabkan sepenuhnya lahir dan bathin dunia akherat oleh bapak S.M. Kartosoewirjo. Insya Allah Amin.
  3. Perlu diketahui bahwa S.M. Kartosoewirjo dalam kedudukannya selaku Imam – Panglima Tertinggi Angkatan Perang Negara Islam Indonesia sudah memerintahkan untuk menghentikan tembak-menembak antara Angkatan Perang NII dan TNI, dan bagi rombongan bersama sudah dilaksanakan pada tanggal 4 Juni 1962 jam 11.35.
  4. Agar dimaklumi, bahwa S.M. Kartosoewirjo bersama saya, Aam (Aceng Kurnia, kepala pengawal pribadi S.M. Kartosoewirjo) serta anak-anak sudah selamat ada dilingkungan RI dengan mendapat perawatan baik dan menggembirakan, pada tanggal 4 Juni 1962 jam 12.00
  5. Semuanya itu berlaku bagi pak Widjaya dan semua Djami’atul Mudjahidin, Insya Allah Amin.
  6. Kami bersama bapak menanti kedatangan saudara-saudara
Seruan ini memicu berbagai reaksi. Ada sebahagian pasukan yang tersebar di gunung yang percaya kemudian menyerahkan diri. Misalkan yang dilakukan oleh Agus Abdullah pada 20 Juni meletakan senjata dan melaporkan diri ke pos TNI di Cipakur. Ada lagi yang tak percaya termasuk Tahmid Rahmat Basuki. Ketika ia mendengarkan seruan itu di radio, ia menafsirkan terbalik. Ia menganggap seruan itu bahasa sandi yang artinya dilarang turun gunung dan melanjutkan pertempuran. Karenanya, bersama pasukan ia berangkat ke gunung Ciremai dan berniat bergabung dengan pasukannya Agus Abdullah. Namun rencana itu tak kesampaian, dalam perjalanan ke gunung Ciremai itulah dia tertangkap.

Kartosoewirjo dirawat selama dua bulan. Agustus 1962 kondisinya mulai pulih. Pemeriksaan pun dimulai. Selain dirinya, 11 orang saksi ikut diperiksa. Pemeriksaan berjalan amat singkat. Pada bulan yang sama, Kartosoewirjo diajukan ke pengadilan Mahkamah Angkatan Darat dalam Keadaan Perang Untuk Jawa dan Madura alias Mahadper. Tiga kejahatan dituduhkan kepadanya. Pertama, makar untuk merobohkan negara Republik Indonesia. Kedua, pemberontakan terhadap kekuasaan yang sah. Ketiga, makar untuk membunuh Soekarno. Dalam sidang yang ketiga, pengadilan memutuskan Kartosoewirjo terbukti bersalah. Pengadilan menjatuhi hukuman mati.
Awal September 1962, Kartosoewirjo menyusun surat wasiat. Surat itu terdiri dari empat bagian. Dua bagian merupakan pesan untuk pengikutnya, dua lagi untuk keluarganya. Khusus pesan bagi para pengikutnya, ia menegaskan bahwa hingga detik terakhir ia tetap bertindak dan berbuat selaku Imam Panglima Tertinggi ANgkatan Perang Negara Islam Indonesia (APNII). Dia juga menegaskan kembali apa yang telah dilakukannya semuannya merujuk pada Al-Qur’an dan Hadist Nabi. Dia juga yakin bahwa suatu waktu cita-cita Negara Islam bakal terlaksana walaupun lawan menentangnya.
Esok harinya 5 September 1962 Kartosoewirjo dibawa regu tembak ke sebuah pulau di Kepulauan Seribu. Pukul 5.50 pagi tepat, regu tembak melakukan eksekusi mati. Jenazah Kartosoewirjo pun dikebumikan di pantai pulau tersebut.

Referensi :
  • NII Sampai JI Salafi Jihadisme Di Indonesia, Solahudin, Komunitas Bambu, Mei 2011
  • Siliwangi Dari Masa Ke Masa, Sejarah Militer Kodam VI Siliwangi, Fakta Mahjuma, Juni 1968

Hari terakhir Kartosoewirjo

Misteri eksekusi wafatnya Imam dan Pimpinan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) Soekarmadji Maridjan Kartosoewirjo terungkap. Selama 50 tahun, pemerintah Soekarno dan Soeharto menyembunyikan lokasi eksekusi sang Imam.
Selama ini Kartosoewirjo dipercaya masyarakat dieksekusi dan dikubur di Pulau Onrust, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Bahkan ada makam yang disebut sebagai makam sang imam di sana. Ternyata salah besar.
Adalah sejarawan dan budayan Fadli Zon yang membuka misteri yang tersimpan 50 tahun lalu itu. Lewat buku ‘Hari terakhir Kartosoewirjo: 81 Foto Eksekusi mati Imam DI/TII’, terungkap Kartosoewirjo dieksekusi mati dan dikuburkan di Pulau Ubi, Kepulauan Seribu.
Sebenarnya saya belum liat apalagi baca buku ini. Buku ini baru akan diluncurkan oleh sang penulisnya Fadli Zon di Taman Ismail Marzuki hari ini. Hasil ngintip dari websitenya Fadli Zon, sedikit keterangan tentang buku “Hari Terakhir Kartosoewirjo
Buku ini ditulis dengan tujuan utama mengangkat sebuah fakta sejarah mengenai salah satu episode terpenting dalam perjalanan hidup Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Fakta-fakta ini jarang sekali, untuk mengatakan tak pernah sama sekali, terungkap oleh sejarawan Indonesia maupun peneliti asing baik dalam catatan mereka atau dalam publikasi ilmiah kesejarahan Indonesia. Inilah detik-detik akhir kehidupan Kartosoewirjo yang dieksekusi mati pada 12 September 1962. Peristiwa itu terjadi persis 50 tahun lalu.
Hingga buku ini ditulis dan diterbitkan, sudah puluhan bahkan ratusan publikasi yang mencatat baik langsung maupun tak langsung ulasan tentang perjalanan hidup Kartosoewirjo ataupun jejak sepak terjangnya dalam gerakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia). Namun, berdasarkan hasil penelusuran saya, belum ada satupun di antara publikasi tersebut yang memuat fakta yang dituangkan dalam buku ini. Sebuah fakta yang berbicara sendiri dengan bahasa gambar.
Fakta yang disajikan dalam buku ini belum pernah diangkat di media manapun. Publikasi yang ada mengenai Kartosoewirjo, banyak yang sudah secara detail memaparkan perjalanan hidupnya, pemikiran politiknya, sepak terjangnya dalam kancah gerakan nasionalisme Indonesia, perannya dalam gerakan DI/TII, hingga cerita mengenai tertangkap sampai wafatnya Kartosoewirjo.
Inilah beberapa foto yang berhasil diboyong kemari dari kaskus.co.id yang bersumber dari buku “Hari Terakhir Kartosoewirjo”
~ Sholat Tobat sebelum eksekusi~
~Foto Eksekusi SMK~
~ Tembakan terakhir dari komandan regu tembak~
“Buku ini ditulis dengan tujuan utama mengangkat sebuah fakta sejarah penting dalam perjalanan hidup Sekarmadji Maridjan Kartosowirjo. Inilah detik-detik akhir kehidupan Kartosoewirjo yang dieksekusi mati pada 12 September 1962,” jelas Fadli dalam bukunya.
“Tepatnya 7 Agustus 2010 saya mendapatkan koleksi foto-foto tersebut. Setelah saya selesai acara Java Auction (lelang benda-benda filateli dan numismatik) di Hotel Redtop, ada seorang kolektor yang menawarkan koleksi foto Kartosoewirjo. Koleksi foto ini adalah artefak sejarah yang penting,” tulis Fadli.
Reff :  Serbaserbi sejarah

Ma'rifatullah 1


Misi utama hidup manusia adalah beribadah dengan mentauhidkan Allah. Namun seseorang tidak akan mampu mentaudkan Allah kecuali ea mengenal Allah dengan pengenalan yang sebenar-benarnya. Mengenal Allah berarti mengenal keberadaan Allah. Mengenal Allah berarti mengenal kedudukan Allah atas mekhluk-Nya. Mengenal Allah berarti mengenal Asma wa Sifat-Nya. Mengenal Allah berarti mengenal bentuk-bentuk pelanggaran terhadap hak-hak-Nya.

1. Allah sebagai Al-Khalik

Firmar Allah SWT :
هُوَ اللهُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ, لَهُ اْلأَسْمَاءُ الْـحُسْنَي, يُسَبِّحُ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ.
Dialah Allah yang Menciptakan, yang Mengadakan, yang membentuk Rupa, yang mempunyai asmaaul Husna. bertasbih kepadanya apa yang di langit dan bumi. dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Qs. Al-Hasr 59 : 24)

Adanya alam semesta dan seuruh isinya ini, serta kesempurnaan sistem yang ada di dalam-Nya adalah bukti keberadaan Allah sebagai Al-Khalik. Karena tidak mungkin semuanya ada dengan sendirinya tetapi pasti ada yang menciptakannya, dan pencipta satu-satunya adalah Allah SWT.


2. Allah pencipta segala sesuatu






Katakanlah: "Allah adalah Pencipta segala sesuatu dan Dia-lah Tuhan yang Maha Esa lagi Maha Perkasa". (Qs Ar-Ra’ad (13) : 16)

Allah adalah Al-Khalik, pencipta segala sesuatu, pencipta langit dan bumi. Keberadaan-Nya sebagai pencipta alam semesta Dia ungkapkan dengan “khalaqas samaawati wal ardhi” (Dia menciptakan langit dan bumi)

Sedangkan keberadaan-Nya sebagai pencipta manusia Dia ungkapkan dengan pernyataan “Khalaqal Insaan” atau “ Khalaqnal Insaana” (Mencipta manusia), “Khalaqakum” (menciptakan kamu). Dia jugalah yang menciptakan segala sesuatu “Khaaliqu kulli syain” baik di alam ghaib dan alam syahadah.

Seluruh langit dan bumi serta seluruh makhluk yang ada diantara keduanya, Dia ciptakan dengan kekuasaan-Nya, sendirian, tanpa saham atau bantuan sedikitpun dari makhluk-Nya, tanpa rasa lelah atau capai sedikitpun. Itulah kebesaran Allah sebagai Maha Pencipta.









Dan Sesungguhnya telah Kami ciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam masa, dan Kami sedikitpun tidak ditimpa keletihan. (Qs. Qaaf : 38)

Untuk menghilangkan keraguan para pengingkar, yaitu pera penyembah berhala atau orang-orang yang merasa hebat, Allah telah menantang mereka, untuk menunjukan sedikit saja saham mereka dalam penciptaan, baik di langit atau di bumi.


Pehatikan ayat berikut ini :


Katakanlah: "Terangkanlah kepada-Ku tentang sekutu-sekutumu yang kamu seru selain Allah. perlihatkanlah kepada-Ku (bahagian) manakah dari bumi ini yang telah mereka ciptakan ataukah mereka mempunyai saham dalam (penciptaan) langit atau Adakah Kami memberi kepada mereka sebuah kitab sehingga mereka mendapat keterangan-keterangan yang jelas daripadanya? sebenarnya orang-orang yang zalim itu sebahagian dari mereka tidak menjanjikan kepada sebahagian yang lain, melainkan tipuan belaka". (Qs. Al-Fathir : 40)

Tidak ada sedikitpun saham mereka dalam penciptaan, bahkan walau hanya selmbar sap nyamuk. Bahkan mereka sendiri adalah makhluk yang diciptakan. Maha besar Allah, Rabb yang Maha Kuasa.















Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, Maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu menciptakannya. dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, Tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan Amat lemah (pulalah) yang disembah. (Qs. Al-Hajj : 73)

Kalau demikian, lalu kenapa manusia menjadi penentang Allah, menyimpang dari jalan-Nya, menyembah berhala dan hawa nafsu mereka sendiri?




Allah pencipta yang Maha Sempurna
Firman Allah SWT :
اَلَّذِيْ أَحْسَنَ كُلَّ شَيْئٍ خَلَقَهُ

“Yang membuat segala seuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya …”. (Qs. As-Sajadah : 7)
Allah adalah pencipta yang Maha Sempurna. Kesempurnaan ciptaan Allah meliputi desain dan system yang sempurna, yaitu:

1.      Seluruh makhluk ciptaan-Nya Dia ciptakan dalam keadaan terbai, tidak ada yang cacat. Semua dalam keserasian dan keseimbangan yang tiada tara.

مَاتَرَي فِي خَلْقِ الرَّحْـمَانِ مِنْ تَفَاوُتٍ
“Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang”. (Qs. Al-Mulk : 3)

2.      Seluruh makhluk ciptaan-Nya Dia ciptakan dengan hikmah dan tujuan yang hak. Jadi tidak ada satu makhlukpun yang Dia ciptakan dengan bathil, percuma, atau sia-sia tanpa tujuan dan misi

وَمَاخَلَقْنَاالسَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ وَمَا بَيْنَـهُمَا إِلاَّ بِاْلـحَقِّ
“Dan tidaklah kami ciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya, melainkan dengan tujuan yang benar”. (Qs. Al-Hijr : 85)
وَمَاخَلَقْنَاالسَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ وَمَا بَيْنَـهُمَا بَاطِلاً
“Dan tidaklah kami ciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya,tanpa hikmah”. (Qs. Shad : 27)
وَمَاخَلَقْنَاالسَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ وَمَا بَيْنَـهُمَا لاَعِبِـيْنَ
“Dan tidaklah kami ciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dengan main-main”. (Qs. Al-Anbiya : 16 ó Ad-Dukhan : 38)

3.      Seluruh makhluk Ciptaan-Nya Dia ditetapkan dengan kadar ukuran yang pas. Tidak ada yang berlebihan dan tidak ada yang berkurang.
إِنَّ كُلَّ شَيْئٍ خَلَقَهُ بِقَـدَرٍ
“Sesungguhnya menciptakan segala sesuatu menurut ukuran”. (Qs. Al-Qomar : 49)

4.      Seluruh makhluk ciptaan-Nya Dia ciptakan berdasarkan ilmu-Nya. Jadi tidak berdasarkan kebetulan atau dengan kelalaian, tetapi semuanya telah dirancang dengan perencanaan yang kokoh berdasarkan ilmu Allah yang Maha Sempurna dan tidak tergoyahkan.
وَمَاتَـخْرُجُ مِنْ ثَمَرَاتٍ مِنْ أَكْمَامِهَا وَمَاتَـحْمِلُ مِنْ أُنْثَي وَلاَ تَضَعُ إِلاَّ بِعِلْمِهِ
“Dan tidak ada buah-buahan keluar dari kelopaknya dan tidak seorang perempuanpun mengandung dan tidak (pula) melahirkan, melainkan dengan sepengetahuan-Nya”. (Qs. Fushilat : 47)

5.      Seluruh makhluk ciptaan-Nya Dia ciptakan dengan batas waktu yang telah ditetapkan.
مَا خَلَقْنَاالسَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ وَمَابَيْنَهُمَا إِلاَّ بِاْلـحَقِّ وَأَجَلٍ مُّسَمًّى
“Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan dalam waktu yang ditentukan”. (Qs. Al-Ahqof : 16)

4. Kedudukan Allah terhadap makhluk ciptaan-Nya

"Dia menciptakan langit dan bumi dengan (tujuan) yang benar; Dia menutupkan malam atas siang dan menutupkan siang atas malam dan menundukkan matahari dan bulan, masing-masing berjalan menurut waktu yang ditentukan. ingatlah Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. Dia menciptakan kamu dari seorang diri kemudian Dia jadikan daripadanya isterinya dan Dia menurunkan untuk kamu delapan ekor yang berpasangan dari binatang ternak. Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan[1306]. yang (berbuat) demikian itu adalah Allah, Tuhan kamu, Tuhan yang mempunyai kerajaan. tidak ada Tuhan selain dia; Maka bagaimana kamu dapat dipalingkan?" (Qs. Azzumar : 5-6)

[1306] Tiga kegelapan itu ialah kegelapan dalam perut, kegelapan dalam rahim, dan kegelapan dalam selaput yang menutup anak dalam rahim.

Allah sebagai Al-Khalik memiliki kedudukan dan fungsi khusus terhadap makhluk ciptaan-Nya. Pada ayat diatas dijelaskan, setelah menciptakan alam semesta dan manusia, maka Allah adalah Rabb, Pemilik Mulk (kekuasaan) dan Sesembahan. Sedangkan kedudukan Allah secara khusus terhadap manusia dinyatakan dalam surah An-Naas sebagai berikut :

“Katakanlah: “Aku berlindung kepada Rabb (yang memelihara dan menguasai) manusia. Raja (Malik) manusia. Sesembahan (Ilah) manusia.” (Qs. An-Naas: 1-3)

Muhammad bin Abdul Wahab rhm dalam tafsir surah An-Naas telah menerangkan kedudukan tiga kalimat Rabb, Malik dan Ilah sebagai berikut:

“Ketiga rangkaian kalimat diatas meliputi seluruh kaidah-kaidah iman. Terangkum di dalamya seluruh makna Asmaul Husna. Perinciannya sebagai berikut:

Ar-Rabb berarti Dialah Al-Qodir (yang maha kuasa) Al-Khalik (yang maha menciptakan), Al-Bari’ (yang mengadakan), al-Mushowwir (yang membentuk rupa), al-Hayyu (yang maha hidup), al-Qoyyum (yang berdiri sendiri), al-‘Alim (yang maha mengetahui), as-Sami’ (yang maha mendengar), al-Bashir (yang maha melihat), al-Muhsin (yang member kebaikan), al-Mun’im (yang memberi nikmat), al-Jawad (yang maha penyantun), al-Muthi’ (yang maha member), an-Naafi’ (yang maha member manfa’at), ad-Dhaar (yang menurunkan mudhorot), al-Muqodim (yang maha mendahului), al-Muakhir (yang maha akhir), yang memberi hidayah dan yang menyesatkan, yang member kebahagiaan dan yang membuat celaka, yang memulikan dan yang menghinakan dan makna rububiyyah lainnya.

Al-Malik berarti Dialah yang memerintah, yang melarang, yang memuliakan dan merendahkan, yang berhak mengatur urusan hamba-hamba-Nya menurut kehendaknya dan membolak-balikan mereka menurut kehenda-Nya, dialah Al-Aziz (yang maha perkasa), al-Jabbar (yang maha kuasa), al-Mutakabbir (yang memiliki segala keagungan), al-Khafidz (yang merendahkan), ar-Raafi’ (yang meninggikan), al-Muiz (yang memuliakan), al-Mudzil (yang menghinakan), al-Adzim (yang maha agung), al-Jalil (yang Maha Mulia), al-Wali (yang Maha Melindungi), al-Muta’al (yang Maha Tinggi), al-Malik (yang Maha Berkuasa), al-Muqshith (yang Maha Adil), dan al-Jami’ (yang Maha Sempurna) dan Asmaul Husna linnya yang kembali kepada makna kemaha kuasaan-Nya.

Al-Ilah berarti Dialah yang memiliki seluruh sifat yang sempurna dan agung. Terangkum didalamnya seluruh Asmaul Husna. Oleh sebab itu, menurut pendapat yang shahih lafdzul dzalalah (Allah) berasal dari kata Al-Ilah. Dan nama Allah mencakup seluruh makna-makna Asmaul Husna dan sifat Al-Ulya (yang Maha Tinggi). Dan rahasia Kalam Allah teramat agung dan mulia untuk dapat diungkapkan oleh akal manusia. Kemampuan maksimal ahli ilmu hanyalah sebatas menjadikannya sebagai petunjuk kepada rahasia yang tersembunyi dibalik asma dan sifat-Nya. (Muhammad bin Abdul Wahab, Tafsir Surat An-Naas dan Al-Falaq: 26-28)


bersambung .....



Innalillahi, kelompok pemeras dan penculik di Pakistan catut nama Taliban

Kamis, 07 Februari 2013

Innalillahi, kelompok pemeras dan penculik di Pakistan catut nama Taliban

KARACHI – Memanfaatkan nama besar Mujahidin Taliban Pakistan, geng-geng kriminal di Pakistan menggunakan nama tersebut untuk memeras uang dari pengusaha, pedagang dan warga di negara Asia Selatan.
“Kami telah menghancurkan berbagai geng dan menangkap beberapa orang yang telah menggunakan nama Taliban untuk melakukan berbagai jenis kejahatan, terutama penculikan untuk tebusan dan pemerasan,” ujar Farooq Awan, seorang pejabat kepolisian senior di Karachi seperti dilansir OnIslam.
Hampir 50 orang telah ditangkap atas keterlibatan dalam penculikan yang menggunakan nama Taliban.
Kasus yang paling menarik muncul pada bulan lalu ketika seorang bos Cina ditangkap di Karachi. Para penyerang mengancam keluarga korban akan membunuh sandera jika mereka tidak membayar uang tebusan sebesar 100.000 USD.
Mereka mengirimkan foto dari beberapa orang berjenggot seolah-olah itu adalah Mujahid Taliban, kepada istri korban.
Tapi setelah seminggu ditahan, sandera dibebaskan oleh penculiknya tanpa tebusan karena tidak tersedianya tempat yang tepat. Kemudian diketahui bahwa dalam penculikan adalah karyawan Cina yang bekerja di perusahaan yang sama.
Dia ditahan oleh polisi dan mengaku bahwa ia telah menculik bosnya karena ia berpikir bahwa keluarganya tidak akan memakan waktu lama untuk membayar uang tebusan setelah mendengar nama Taliban.
“Ini bukan satu-satunya kasus,” ungkap Awan.
“Kami baru-baru ini menangkap seorang karyawan dari perusahaan lokal yang juga menculik atasannya untuk tebusan atas nama Taliban.”
Karachi merupakan pusat komersial di Pakistan, telah lama dikenal karena kekerasan. Kota ini disebut-sebut sebagai surga bagi paa penjahat yang telah terlibat dalam perampokan bank, penculikan untuk tebusan, pencurian mobil dan kejahatan lain yang mengambil keuntungan dari kekurangan personil kepolisian dan kurangnya perencanaan keamanan yang tepat.
Pejabat Polisi percaya bahwa penjahat menggunakan nama Taliban untuk meningkatkan posisi tawar mereka.
“Menggunakan nama Taliban (oleh penjahat) telah menjadi mode saat ini,” ujar Fayyaz Khan dari Pusat Investigasi (CID), yang telah menangkap banyak Taliban palsu.
“Para penculik atau pemeras berpikir bahwa korban tidak akan berani menghubungi polisi jika mereka menggunakan nama Taliban,” kata Khan.

Sumber : haninmazaya/arrahmah.com)


Farid Wajdi ; Partai Islam terjerat korupsi, umat akan berjuang tanpa demokrasi

Rabu, 06 Februari 2013

Farid Wajdi: Partai Islam terjerat korupsi, umat akan berjuang tanpa demokrasi
JAKARTA - Penetapan tersangka kasus suap pada mantan Presiden PKS, akan memunculkan ketidakpercayaan umat Islam terhadap sistem demokrasi. Umat Islam Indonesia akan melakukan perjuangan di luar sistem demokrasi dalam mewujudkan tegaknya khalifah dan syariat Islam.
Pendapat itu disampaikan Ketua DPP Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Farid Wajdi, seperti dilansir itoday (05/02), menanggapi penangkapan Luthfi Hasan Ishaaq.
Menurut Farid, partai Islam yang berada di parlemen tidak merupakan partai politik yang sepenuhnya memperjuangkan tegaknya Syariat Islam. "Kita jangan melihat asas partai, tetapi dilihat apa yang diperjuangkan. Partai Islam yang ada di Indonesia tidak ada yang menyerukan perjuangan Syariat Islam," tegas Farid.
Farid menegaskan, penegakan syariat Islam saat ini diperjuangkan di luar sistem demokrasi atau partai politik. Salah satunya diperjuangkan oleh HTI. "HTI yang memperjuangkan syariat Islam bukan dengan sistem demokrasi, kini banyak mendapat dukungan umat Islam. Pendiri partai Islam yang sudah berada di luar juga sangat mendukung perjuangan penegakan syariat Islam tanpa demokrasi," jelas Farid.
Perubahan di Indonesia, kata Farid, termasuk dalam penegakan syariat Islam, dilakukan dari luar sistem demokrasi. "Saya yakin perubahan bukan berada di dalam sistem tetapi di luar seperti reformasi 1998. Perubahan di Tunisia bukan berasal dari parlemen," pungkas Farid.

Reff : (bilal/arrahmah.com)

Sebarkan!

Raih amal shalih, sebarkan informasi ini...
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Al-Islam - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Inspired by Sportapolis Shape5.com
Proudly powered by Blogger