Segala puji hanya milik Allah Subhanahu Wa Ta’ala,
shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasul-Nya yang mulia, para
keluarganya dan shahabatnya serta orang-orang yang berada di atas
jalannya hingga hari kiamat.
Islam
adalah nama yang memiliki hakikat dan isi, sekedar mengaku/menamakan
diri sebagai muslim kalau tidak sesuai dengan hakikat isinya maka itu
tidaklah berarti. Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjelaskan di dalam Al Qur’an tentang Islam ini:
بَلَى
مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَلَهُ أَجْرُهُ عِنْدَ
رَبِّهِ وَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ (١١٢)
‘’Tidak
demikian, bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang
dia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhan-nya dan
tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih
hati.”(Al Baqarah: 112)
وَمَنْ
يُسْلِمْ وَجْهَهُ إِلَى اللَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ
بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى وَإِلَى اللَّهِ عَاقِبَةُ الأمُورِ (٢٢)
‘’Dan
barangsiapa yang menyerahkankan dirinya kepada Allah, sedang dia orang
yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul
tali yang kokoh’’ (Luqman: 22).
Juga Firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala yang menjelaskan bahwa satu-satunya dien yang Dia ridhai adalah dien Al Islam:
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الإسْلامُ
‘’Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam” (Al Imran: 19)
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ (٨٥)
‘’Barangsiapa
mencari agama selain Islam, maka sekali kali tidaklah akan diterima
agama itu darinya, dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang rugi.”(Ali Imran: 85)
Dia Subhanahu Wa Ta’ala menjelaskan bahwa hukum dan undang-undang itu adalah dien:
مَا كَانَ لِيَأْخُذَ أَخَاهُ فِي دِينِ الْمَلِكِ
“Tiadalah patut Yusuf menghukum saudaranya menurut undang-undang Raja” (Yusuf: 76)
Di dalam ayat-ayat itu Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjelaskan tentang makna Islam dan makna dari dien yang Dia tidak menerima dien selainnya.
Dia
menjelaskan bahwa dien yang hanya Dia ridlai hanyalah dien Al Islam,
Dia juga menjelaskan bahwa dien itu adalah aturan hidup yang menyeluruh.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata dalam kitab An Nubuwwat hal 127: “Islam adalah istislaam (berserah
diri) kepada Allah saja tidak kepada yang lainnya, dia beribadah hanya
kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, dia
tawakkal hanya kepada-Nya saja, dia hanya takut dan mengharap
kepada-Nya, dan dia mencintai Allah dengan kecintaan yang sempurna, dia
tidak mencintai makhluk seperti kecintaan dia kepada Allah… siapa
yang enggan beribadah kepada-Nya maka dia bukan muslim dan siapa yang
disamping beribadah kepada Allah dia beribadah pula kepada yang lain
maka dia bukan orang muslim.”
Beliau
menjelaskan bahwa orang yang sama sekali tidak mau beribadah kepada
Allah maka dia itu bukan orang Islam, ini sesuai dengan apa yang sudah
pasti dalam aqidah Ahlus Sunnah bahwa orang yang hanya mengucapkan dua
kalimah syahadat sedangkan dia itu tidak pernah beramal sama sekali
selama hidupnya padahal keadaan memungkinkan untuk itu maka dia itu
bukanlah orang Islam.
Beliau juga menyatakan bahwa orang yang beibadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala,
akan tetapi disamping itu dia juga memalingkan satu macam ibadah kepada
selain Allah maka dia itu bukan orang Islam. Beliau berkata juga
sebagaimana yang di sebutkan oleh Al Imam Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu
Muhhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah dalam kitabnya Al Qaul Al Fashl An Nafiis Fir Raddi ‘Alal Muftarii Dawud Ibni Jirjiis hal 160: “Dalam Islam itu haruslah adanya istislaam (berserah diri penuh) kepada Allah saja dan meninggalkan istislaam kepada selain-Nya, inilah makna hakikat ucapan kita Laa ilaha illallah. Siapa orangnya yang istislaam
kepada Allah dan kepada yang lainnya, maka dia itu adalah orang
musyrik, sedangkan Allah tidak mengampuni penyekutuan terhadap-Nya. Dan
siapa yang tidak istislaam kepada Allah maka dia itu adalah orang yang mustakbir (menyombongkan diri) dari ibadah kepada-Nya, sedangkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ (٦٠)
“Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Kuakan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina” (Al Mukmin: 60)
Contohnya
orang mengaku Islam, dia shalat, zakat, haji, dan yang lainnya, akan
tetapi dia membuat tumbal atau meminta kepada yang sudah mati, maka
orang seperti ini bukanlah orang Islam, karena dia disamping istislaam kepada Allah dia juga istislaam kepada selain-Nya, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
قُلْ
إِنَّ صَلاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ
الْعَالَمِينَ (١٦٢)لا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ
الْمُسْلِمِينَ (١٦٣)
“Katakanlah:
Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk
Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian Itulah
yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama
menyerahkan diri (kepada Allah)” (Al An’am:162-163)
Dia Subhanahu Wa Ta’ala juga berfirman:
وَمَنْ
يَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ لا بُرْهَانَ لَهُ بِهِ فَإِنَّمَا
حِسَابُهُ عِنْدَ رَبِّهِ إِنَّهُ لا يُفْلِحُ الْكَافِرُونَ (١١٧)
“Dan
barangsiapa menyembah Tuhan yang lain disamping Allah, padahal tidak
ada suatu dalilpun baginya tentang itu, maka sesungguhnya perhitungannya
di sisi Tuhannya. Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada
beruntung” (Al Mukminun: 117)
Di dalam ayat itu Allah Subhanahu Wa Ta’ala
menjelaskan bahwa orang yang beribadah kepada Allah akan tetapi dia
juga beribadah kepada selain-Nya, maka dia itu bukanlah orang Islam atau
dia itu adalah orang kafir.
Dia juga menegaskan dalam ayat lain:
وَجَعَلَ لِلَّهِ أَنْدَادًا لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِهِ قُلْ تَمَتَّعْ بِكُفْرِكَ قَلِيلا إِنَّكَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
“Dan
dia mengada-adakan sekutu-sekutu bagi Allah untuk menyesatkan (manusia)
dari jalan-Nya. Katakanlah: “Bersenang-senanglah dengan kekafiranmu itu
sementara waktu; sesungguhnya kamu termasuk penghuni neraka” (Az Zumar: 8)
Ini
adalah bentuk kemusyrikan yang sangat jelas, akan tetapi ada bentuk
kemusyrikan macam lain yang Allah tegaskan dalam firman-Nya:
اتَّخَذُوا
أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ
وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا
وَاحِدًا لا إِلَهَ إِلا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ (٣١)
“Mereka
menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan
selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al masih putera Maryam,
padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan
(yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka
persekutukan.” (At Taubah: 31)
Di dalam hadits hasan yang dihasankan oleh Ibnu Taimiyyah rahimahullah: ‘Addi Ibnu Hatim datang kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam
keadaan Nasrani, terus dia mendengar beliau membaca ayat ini, ‘Addi
berkata: “Saya berkata kepada beliau: Sesungguhnya kami tidak pernah
beribadah kepada mereka (‘ulama dan pendeta), maka Rasulullah berkata:
“Bukankah mereka mengharamkan apa yang telah Allah halalkan, terus
kalian ikut mengharamkannya, dan bukankah mereka menghalalkan apa yang
telah Allah haramkan, terus kalian ikut menghalalkannya?” Maka ‘Addi
berkata: Saya berkata: “Ya, begitu”, Rasulullah berkata: “Itu adalah
bentuk peribadatan kepada mereka”,
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata ketika menjelaskan ayat dan hadits itu dalam Majmu Al Fatawa
7/67-68: “Abu Al Bukhturi berkata: “Sesungguhnya mereka itu tidak
shalat terhadap para ‘ulama dan pendeta itu, dan seandainya para pendeta
itu memerintahkan mereka untuk menyembah mereka selain Allah tentu
mereka tidak akan mentaatinya, akan tetapi para ‘ulama dan pendeta itu
memerintahkan mereka sehingga mereka menjadikan haram apa yang Allah
halalkan dan menjadikan halal apa yang Allah haramkan, kemudian
merekapun mentaatinya, maka itu adalah bentuk pentuhanan tersebut.”
Orang-orang
yang membolehkan apa yang Allah haramkan atau mengharamkan apa yang
Allah halalkan mereka itu divonis oleh-Nya dalam ayat tadi sebagai
arbaab (tuhan-tuhan jadian), dan adapun orang-orang yang sepakat dengan
mereka, mendukung, menyetujui, rela dan ridla maka dia itu adalah
divonis musyrik oleh-Nya. Ini dikuatkan oleh firman-Nya dalam Surat Al
An’am ketika orang-orang musyrik Quraisy mendebat kaum muslimin agar
ikut menghalalkan bangkai, Dia berfirman:
وَلا
تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ
لَفِسْقٌ وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى أَوْلِيَائِهِمْ
لِيُجَادِلُوكُمْ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ (١٢١)
“Dan
janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut Nama Allah
ketika menyembelihnya.Sesungguhnyaperbuatan yang semacam itu adalah
suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada
kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti
mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.” (Al An’am: 121)
Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithiy rahimahullah berkata dalm tafsir Adlwaa’ul Bayan: Ketika orang-orang kafir berkata kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam: “Kambing
mati siapa yang membunuhnya? Maka Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam
menjawab, “Allahlah yang mematikannya,” lalu mereka berkata: “Apa yang
kalian sembelih dengan tangan-tangan kalian adalah halal, sedangkan apa
yang disembelih Allah dengan tangan-Nya Yang Mulia maka kalian
mengatakannya haram, kalau begitu sembelihan kalian lebih baik daripada
sembelihan Allah!?
Kemudian Allah Subhanahu Wa Ta’ala menurunkan firman-Nya tentang mereka ini:
وَلا
تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ
لَفِسْقٌ وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى أَوْلِيَائِهِمْ
لِيُجَادِلُوكُمْ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ (١٢١)
“Dan
janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah
ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah
suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada
kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti
mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.” (Al An’am: 121)
Beliau
berkata lagi: Ayat-ayat yang berhubungan dengan ini cukup banyak dan
telah kami kemukakan berkali-kali, dan kami akan menyebut kembali dari
ayat-ayat itu yang kami nilai sudah cukup. Dan di antaranya –dan ini
tergolong yang paling jelas dan paling gamblang– yaitu bahwa pada zaman
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam telah terjadi perhelatan antara
Hizburrahman dan hizbusysyaithan dalam satu hukum dari hukum-hukum
pengharaman dan penghalalan. Hizburrahman mengikuti tasyri’ Arrahman
dalam pengharaman sesuatu itu dengan wahyu-Nya. Sedang hizbusysyaithan
mengikuti wahyu syaithan dalam penghalalannya.
Dan
Allah telah menghukumi di antara keduanya serta memutuskan perselisihan
mereka dengan fatwa langit, yaitu Al Qur’an yang dibaca pada Surat Al
An’am. Yaitu sesungguhnya syaithan ketika mewahyukan kepada
wali-walinya, dia berkata kepada mereka dalam wahyunya: Tanyakan kepada
Muhammad tentang kambing yang menjadi bangkai, siapa yang mematikannya?
Maka mereka (RasulullahShalallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya) menjawab pertanyaan mereka bahwa Allah-lah yang mematikannya.
Lalu
mereka berkata: “Kalau begitu bangkai adalah sembelihan Allah dan
kalian kenapa mengatakan bahwa apa yang disembelih Allah itu haram?
Padahal kalian mengatakan bahwa apa-apa yang kalian sembelih dengan
tangan-tanggan kalian adalah halal, kalau demikian berarti sembelihan
kalin lebih baik dan lebih halal daripada sembelihan Allah?
Maka Allah –dengan ijma para ‘ulama– menurunkan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
وَلا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ
(“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut Nama Allah ketika menyembelihnya.)
Yaitu bangkai meskipun orang-orang kafir mengklaimnya bahwa Allah
menyembelihnya dengan Tangan-Nya Yang Mulia dengan pisau dari emas:
إِنَّهُ لَفِسْقٌ
(Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan)
Dlamir itu kembali kepada makanan yang difahami dari firman-Nya:
وَلا تَأْكُلُوا
Dan fiman-Nya: لفسق maksudnya adalah keluar dari ketaatan kepada Allah dan mengikuti tasyri’ syaithan:
وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى أَوْلِيَائِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ
“Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu”
Yaitu
dengan perkataan mereka: “Apa-apa yang kalian sembelih adalah halal dan
apa-apa yang Allah sembelih adalah haram, maka dengan demikian kamu
lebih baik daripada Allah dan lebih halal sembelihannya, kemudian fatwa
langit dari Tuhan Semesta Alam menjelaskan tentang hukum antara dua
kelompok itu dalam firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ
“Dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.”
Beliau mengatakan setelah ayat tersebut: “Ini merupakan fatwa langit dari Al Khaliq yang menjelaskan bahwa siapa yang mengikuti syari’at syaithan yang bertentangan dengan syari’at Allah maka ia musyrik kepada Allah.”
Dan beliau rahimahullah berkata ketika menjelaskan ayat Al An’am: 121 di atas: “Maka penguasa langit memutuskan dengan wahyu dari-Nya. Ia
menurunkan Al Qur’an yang dibaca pada surat Al An’am yang menetapkan
kepada makhluk-Nya bahwa setiap orang yang mengikuti peraturan, hukum,
atau undang-undang yang bertentangan dengan apa yang di syari’atkan
Allah atas lisan Rasul-Nya shalallahu ‘alaihi wa sallam maka ia musyrik (menyekutukan) Allah, kafir lagi menjadikan yang diikutinya itu sebagai tuhan.”
Semua yang Asy Syinqitiy katakan ini bisa dirujuk di kitab Al Hakimiyyah Fi Tafsir Adlwaa’il Bayan.
Sekarang
di kita apa yang di agungkan, dijaga, dilindungi, dipegang erat,
dijunjung tingggi oleh para penguasa, pejabat, anggota dewan, tentara,
polisi, para hakim, para jaksa yang mengaku Islam? Apakah hukum Allah
dan aturannya, ataukah hukum manusia dan undang-undang serta aturannya?
Kalau anda paham apa yang tadi diuraikan maka anda bisa mengerti firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala
dalam surat Yusuf 76 di atas kenapa Dia mengungkapkan
hukum/undang-undang dengan kata dien, ini karena hukum/undang-undang
adalah dien yang hanya boleh bersumber dari Allah, sehinggga bila ini
disandarkan kepada selain Allah maka yang menyandarkan itu telah jatuh
ke dalam syirik akbar tadi yang ada pada surat At Taubah: 31, “Subhhaanahu ‘amma yusyrikuun,” dan Al An’am: 121, “wa in atha’tumuuhum innakum lamusyrikuun. Dan sedangkan orang-orang yang menerima penyandaran hukum atau undang-undang itu kepada mereka maka statusnyya adalah arbaab (tuhan-tuhan jadi-jadian selain Allah) sebagaimana yang tertera dalam surat At Taubah: 31 tadi, “ittakhadzuu ahbaarahum wa ruhbaanahum arbaaban min duunillaah,” atau syurakaa (sekutu-sekutu) sebagaimana yang tertera dalam surat Asy Syuuraa: 21, “am lahum syurakaau syara’uu lahum”.
Dalam
surat Ali Imran: 85 di atas Allah menjelaskan bahwa orang yang mencari
dien selain Islam maka tidak mungkin diterima dan di akhirat termasuk
orang-oranng yang rugi sedangkan engkau mengetahui bahwa salah satu
macam hakikat dien itu adalah hukum/undang-undang, jadi orang-orang
demokrat itu adalah telah mencari dien selain Islam meskipun mereka itu
adalah mengaku Islam. Orang-orang yang ridla dengan system demokrasi itu
adalah orang yang telah ridla dengan selain dien Al Islam, sebagaimana
orang yang mengaku Islam akan tetapi dia juga membuat sesajen atau
tumbal atau minta ke kuburan maka dia itu telah mencari dien selain
Islam dan telah keluar dari garis keislaman.
Jadi
ibadah itu bukanlah hanya terbatas pada ritual-ritual yang sudah kita
ketahui, akan tetapi hukum itu merupakan bentuk dari ibadah juga
sebagaimana yang dinyatakan dalam surat At Taubah: 31 tadi, “wamaa umiruu illa liya’buduu ilaahan waahidan”, juga sebagaimana firman-Nya:
مَا
تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِهِ إِلا أَسْمَاءً سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ
وَآبَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ إِنِ الْحُكْمُ
إِلا لِلَّهِ أَمَرَ أَلا تَعْبُدُوا إِلا إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ
الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ (٤٠)
“Kamu
tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama
yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan
suatu keteranganpun tentang nama-nama itu. Keputusan itu hanyalah
kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah
selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui.” (Yusuf: 40)
Di dalam ayat itu Allah Subhanahu Wa Ta’ala
tegaskan bahwa Al hukmu adalah ibadah dan dien. Bila anda paham akan
uraian ini maka kita kembali kepada hakikat dari Al Islam dan yang
menyelisihinya yang berupa syirik.
Ibnu Qayyim ramimahullah berkata dalam kitabnya Thariqul Hijratain Wa Baabus Sa’aadatain hal: 542 dalam thabaqah yang ke tujuh belas: ‘’Islam adalah mentauhidkan Allah, beribadah kepada-Nya saja tidak ada sekuutu bagi-Nya, iman kepada Allah Allah dan kepada Rasul-Nya, serta mengikuti apa yang di bawa-Nya, maka bila seorang hamba tidak membawa ini berarti dia bukan orang muslim, bila dia bukan orang kafir mu’aanid maka dia adalah orang kafir yang jahil, dan status orang-orang ini adalah sebagai oranng-orang kafir yang jahil tidak mu’aanid (membangkang), dan ketidakmembangkangan mereka itu tidak mengeluarkan mereka dari statusnya sebagai orang-orang kafir.”
Beliau
menegaskan bahwa Islam itu terdiri dari lima hal, yang bila salah
satunya tidak terealisasi maka itu bukan orang Islam, ya bisa jadi dia
itu orang kafir yang memang membangkang atau orang kafir yang jahil akan
kekafiran dirinya.
Al Imam Asy Syaikh Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah berkata dalam Ad Durar As Saniyyah 1/113:“Bila
amalan kamu seluruhnya adalah bagi Allah maka kamu muwahhid, dan bila
ada sebagian yang dipalingkan kepada makhluk maka kamu adalah musyrik”.
Bila
saja mayoritas amalan seseorang untuk Allah, akan tetapi ada
salahsatunya dia palingkan kepada selain-Nya maka dia itu musyrik
meskipun mengaku Islam, seperti para ‘ubbaadul qubuur (yang jatuh dalam
syirik kuburan) dan ’ubbaaduddustuur (yang jatuh dalam syirik aturan),
dan kedua macam syirik ini sudah diisyaratkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya: “Hari
kiamat tidak akan tiba hinga suku dari umatku kembali menyembbah
berhala dan sehingga jumlah besar dari umatku bergabung dengan
orang-orang musyrik.” (HR Barqaaniy dalam shahihnya) –Dalam riwayat Abu Dawud:– “Sehingga kabilah-kabilah dari umatku bergabung dengan orang-orang musyrik.”
Syirik macam pertama yang Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam isyaratkan adalah syirik penyembahan berhala (syirik kuburan) beliau berkata: “Ya Allah, janganlah Engkau jadikan kuburanku sebagai berhala yang disembah.” (HR. Malik)
Kuburan
beliau bila disembah maka menjadi berhala, dan berarti kuburan-kuburan
yang lain atau makhluk lain bila disembah maka telah dijadikan sebagai
berhala. Ini adalah kenyataan yang ada sebagaimana yang beliau
isyaratkan tadi, berapa banyak orang yang meminta-minta ke kuburan,
pohon besar, batu besar, penguasa laut (sebagaimana klaim orang-orang
musyrik).
Dan syirik lain yang beliau isyaratkan akan terjadi besar-besaran adalah syirkulluhuuq bil musyrikiin (syirik
dengan cara bergabung dengan orang-orang musyrik atau mengadopsi system
syirik) seperti syirik orang yang masuk parlemen atau orang yang
berfaham sekuler yang di antaranya adalah orang-orang demokrat.
Dan memang yang sedang merebak sekarang adalah dua macam syirik ini yaitu syirkul kubur (syirik kuburan) dan syirkuddustur (syirik aturan/hukum/undang-undang).
Orang
yang jatuh ke dalam syirik tadi tidak bisa dikatakan bahwa ia itu orang
Islam dengan sebab dia mengaku Islam atau melaksanakan sebagian atau
banyak syi’ar Islam (tauhid) itu tidak bisa bersatu dalam diri seseorang
dalam satu waktu, Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata dalam Syarah Ashli Dienil Islam
(lihat Al Jami’ Al Fariid: 380): “Sesungguhnya orang yang melaksanakan
syirik itu berarti dia telah meninggalkan tauhid, karena keduanya
adalah dua hal yang bersebrangan yang tidak bisa bersatu, bila syirik
ada (pada diri seseorang) maka hilanglah tauhid.”
Beliau rahimahullah berkata lagi dalam Ad Durar As Saniyyah 2/161: “Siapa orangnya memalingkan sesuatu dari ibadah itukepada selain Allah maka dia itu musyrik.”
Juga Al Imam Asy Syaikh Abdillathief Ibnu Abdirrahman Ibnu Hasan Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata dalam kitabnya Minhajut Ta’siis Wa Taqdiis Fi Kasyfi Syubuhaat Dawud Ibni Jirjis hal 12: “Sesungguhnya Islam dan syirik itu adalah naqidlaan (dua
hal yang kontradiksi) yang tidak bisa bersatu dan tidak bisa bersatu
dan tidak bisa kedua-duanya hilang (secara bersamaan).”
Mengaku Islam dan menampakan amalan Islam tidak menjamin dia itu orang Islam, bila dia tidak iltizaam dengan konsekwensinya.
Syaikh Muhhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata dalm Ad Durar 1/323 dan Minhajut Ta’siis
hal 61: “Sekedar mengucapkan kalimat syahadat tanpa mengetahui maknanya
dan tanpa mengamalkan tuntutannya maka itu tidak membuat mukallaf
tersebut menjadi muslim, dan justruitu menjadi hujjah atas dia…. Siapa
yang bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah,
sedang dia itu beribadah kepada yang selain Allah (pula) maka kesaksian
itu tidak dianggap meskipun dia itu shalat, zakat, shaum, dan
melaksanakkan sebagian ajaran Islam.”
Ini
adalah pernyataan yang jelas lagi gamblang, akan tetapi orang-orang
sekarang hanya berpegang kepada surat pengenal atau amalan Islam yang
lahir tanpa memperhatikan kepada pembatal keislaman itu, padahal mereka
melihat orang-orang itu melakukan pembatal keislaman. Sebagai contoh
ketegasan dalam tauhid ini yang tidak mengenal sekedar pengakuan atau
amalan syi’ar lahir yang biasa, adalah yang dikatakan Syaikh Muhammad
Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah kepada seorang hakim (qadli) agung
di kota Riyadl yang mana dia itu orang yang terkenal ‘alim dan rajin
ibadah dan terpandang di masyarakatnya, akan tetapi dia itu melegalkan
syirik kuburan yang ada di tengah masyarakatnya dan menentang dakwah
tauhid yang digencarkan oleh syaikh, Syaikh berkata kepada sang hakim
agumng itu (Sulaiman Ibnu Suhaim) dalam risalah beliau kepadanya (Lihat Tarikh Nejd: 304): “Akan tetapi kamu adalah orang jahil yang musyrik, yang benci dien Allah.”
Jadi orang yang melakukan kemusyrikan akbar itu bukanlah orang Islam, karena dia tidak istislaam penuh kepada Allah saja.
Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad rahimahullah berkata dalam Al Qaul Al Fashl AN Nafiis
hal 31: “Sesungguhnya orang muslim itu tidak mungkin memohon kepada
selain Allah selama-lamanya. Sesungguhnya orang yang meminta dan memohon
hajatnya kepada mayit atau orang yang ghaib, maka dia itu telah keluar
dari Islam, menghancurkannya, dan menguraikan tali-talinya satu demi
satu, ini berdasarkan apa yang telah dijelaskan bahwa Islam itu adalah
penyerahan wajah, hati, lisan, dan seluruh anggota badan hanya kepada
Allah tidak kepada yang lainnya, orang muslim itu bukanlah orang yang
taklid kepada nenek moyangnya, guru-gurunya yang bodoh dan berjalan di
belakang mereka tanpa petunjuk dan tanpa bashirah.”
Laa ilaha illallah itu memiliki makna dan konsekwensi. Maknanya harus diketahui dan ini adalah salah satu syarat sah Laa ilaha illallah, sedangkan konsekwensinya adalah harus dipegang dan dilaksanakan.
Syaikh Sulaiman Ibnu Abdillah Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata dalam Taisiir Al ‘Aziz Al Hamiid hal 58: “Siapa yang menggucapkan kalimat ini (Laa ilaha illallah) dengan mengetahui maknanya, mengamalkan tuntutannya berupa menafikan syirik dan menetapkan wahdaniyyah hanya
bagi Allah dengan di sertai keyakinan yang pasti akan kandungan
maknanya dan mengamalkannya maka dia itu adalah orang muslim yang
sebenarnya.Bila dia mengamalkannya secara dlohir tanpa meyakininya maka
dia munafiq, dan bila dia menggamalkan apa yang menyalahinya berupa
syirik maka dia itu kafir meskipun mengucapkannya (Laa iilaha illallah).”
Beliau mengatakan juga dalam kitab yang sama (lihat Ashli Dienil IslamJuz 30): “Sesungguhnya mengucapkan Laa iilaha illallah tanpa disertai pengetahuan akan maknanya dan tidak mengamalkan tuntutannya berupa iltizam
denag tauhid dan meninggalkan syirik serta kufur kepada thaghut maka
sesunnggguhnyya pengucapan itu tidak bermanfaat dengan ijma para
‘ulama.”
Ini di karenakan Laa ilaha illallah
itu memiliki dua rukun, yaitu kufur kepada thaghut dan iman kepada
Allah, salah satunya saja tidaklah berguna dan tidak menyebabkan orang
terjaga darah dan hartanya serta dia tidak dianggap orang Islam,
sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لا انْفِصَامَ لَهَا
“Barangsiapa
yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya
ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan
putus.”(Al Baqarah: 256)
Juga sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan Muslim: “Siapa
yang mengucapkan Laa ilaha illallah dan kafir terhadap sesuatu yang
disembah selain Allah, maka haramlah harta dan darahnya, sedangkan
penghisabannya adalah atas Allah”.
Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad rahimahullah berkata saat ditanya tentang hadits ini dalam Ad Durar As Saniyyah 2/156: “Dan adapun sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam: “…dan kafir terhadap segala yang disembah selain Allah,” ini merupakan syarat yang agung. Pengucapan Laa ilaha illallah tidak sah kecuali dengan adanya syarat itu, dan bila tidak ada maka orang yang mengucapkan Laa ilaha illallah
itu tidaklah haram darah dan hartanya. Pengucapan kalimat itu tidak
bermanfaat baginya tanpa disertai dengan mendatangkan makna yang
dikandung oleh kalimat tersebut berupa peninggalan syirik, baraa’ah
(berlepas diri) darinya dan dari pelakunya. Bila dia mengingkari
peribadatan segala sesuatu yang disembah selain Allah, berlepas diri
darinya, dan memusuhi orang yang melakukannya, maka dia itu telah
menjadi orang Muslim yang terjaga darah dan hartannya.”
Ini adalah masalah yang sudah di ijmakan oleh seluruh para ‘ulama.
Al ‘Allamah Syaikh Hamd Ibnu ‘Atieq rahimahullah berkata dalam kitab Ibthalit Tandiid
hal 76: “Para ‘ulama telah ijma bahwa orang yang memalingkan satu dari
dua macam doa kepada selain Allah, maka dia itu adalah musyrik meskipun
dia mengucapkan Laa ilaha illallah Muhammadun Rasuluullah, dia shalat,
shaum dan dia mengaku Muslim.”
Dia tidak menyadari bahwa dia itu musyrik, sehingga dia itu masih tetap shalat, shaum, zakat dan yang lainnya.
Al Imam Asy Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad Ibnu Abdil Wahhabrahimahullah berkata dalam Ad Durar As Saniyyah
11/545-546: “Para ‘ulama dari kalangan salaf dan khalaf, semenjak para
shahabat, tabi’iin, para imam dan seluruh ahlussunnah telah berijma
bahwa orang itu tidak dikatakan Muslim kecuali bila dia mengosongkan
diri dari syirik akbar dan berlepas diri darinya.”
Jadi sekedar amalan dan pengucapan kalimah syahadat tanpa disertai peninggalan terhadap syirik akbar dan baraa’ah (berlepas diri) darinya, maka status Islam itu tidak ada meskipun orang itu merasa dan mengaku Islam dan beridentitas Muslim.
Syaikh Abddullathif Ibnu Abdirrahman Ibnu Hassan Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah menngatakan dalam kitabnya Mishbahudh Dhalaam
hal 37: “Siapa yang beribadah kepada selain Allah, dan menjadikan
tandingan-tandingan bagi tuhannya, serta menyamakan antara dia dengan
yang lainnya, maka dia itu adalah musyrik yang sesat, bukan Muslim,
meskipun dia memakmurkan lembaga-lembaga pendidikan, mengangkat para
qadli, membangun masjid dan adzan, karena dia tidak komitmen dengan
(tauhid)nya, sedangkan mengeluarkan harta yang banyak serta
berlomba-lomba dalam menampakkan syi’ar-syi’ar ‘amalan, maka itu tidak
menyebabkan dia memiliki predikat sebagai Muslim bila dia meninggalkan
hakikat Islam itu (tauhid).”
Sehingga
tidak aneh kalau para ‘ulama berijma akan kafirnya pemerintah/penguasa
Fathimiyyah di Mesir padahal mereka itu yang membangun banyak masjid
termasuk Al Azhar, melaksanakan shalat jama’ah, shalat jum’at,
mengangkat para qadli dan para mufti, ini dikarenakan mereka itu
menampakkan kemusyrikan dan kekufuran sebagaimana pemerintahan kita
menampakkan kekafiran dan kemusyrikan pula, Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah
berkata dalam Sirah (lihat ikhtisarnya dalam Juz Ashli Dienil Islam):
“Sesungguhnya mereka itu menampakkan ajaran-ajaran Islam, pendirian
shalat jum’at dan jama’ah, serta mengangkat para qadli dan mufti, akan
tetapi mereka itu menampakkan syirik dan penyelisihan syari’at maka para
ulama ijma bahwa mereka itu kafir.”
Beliau
juga berkata lagi dalam risalah beliau kepada Ahmad Ibnu Abdil Karim Al
Ahsaaiy salah seorang musuh dakwah tauhid yang mengingkari pengkafiran
Syaikh terhadap orang-orang yang mengaku Muslim padahal mereka
menampakkan kemusyrikan dan kekafiran pada Tarikh Nejd
346: “Seandainya kita menyebutkan orang-orang yang mengaku Islam yang
telah dikafirkan oleh para ‘ulama dan di fatwakan akan kemurtadannya
serta keharusan membunuhnya, tentulah pembahasan menjadi panjang, akan
tetapi di antara kejadian yang paling akhir adalah kisah bani ‘Ubaid
para penguasa Mesir beserta jajarannya, mereka itu mengaku bahwa dirinya
adalah tergolong ahlul Bait, mereka shalat jamaah, shalat Jum’at,
mengangkat para qadli dan para mufti, namun demikian para ‘ulama ttelah
ijma akan kekafiran mereka, kemurtadannya dan keharusan memeranginya,
serta (ijma) bahwa negerinya adalah negeri kafir harbiy yang wajjib
diperangi meskipun (rakyatnya) itu dipaksa lagi benci kepada mereka
(para penguasanya).”
Apakah
orang yang meminta kekuburan, atau membuat tumbal, atau menyandarkan
hukum kepada selain Allah atau duduk di majelis syirik parlemen itu,
atau melindunginya telah membersihkan diri dari syirik dan baraa’ah darinya?
Apakah
orang yang setuju menjadikan demokrasi itu sebagai aturan main dalam
majelis syirik atau memperindahnya atau membolehkannya dengan
dalih-dalih yang beragam atau melindunginya dengan senjata dan kekuatan,
apakah mereka itu telah baraa’ah dari syirik??
Jawabannya tentu: “ TIDAK !!”
Syaikh Abdullathif Ibnu Abdirrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata dalam Mishbahudh Dhalaam 328: “Ilam adalah komitmen dengan tauhid berlepas diri dari syirik, bersaksi atas kerasulan Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam dan mendatangkan rukun Islam yang empat lagi.”
Al Imam Ibnu Hazm rahimahullah berkata dalam kitabnya Al Fashl
4/35: “Semua pemeluk Islam berkata: Setiap orang yang meyakini di
hatinya dengan keyakinan yang tidak mengandung keraguan di dalamnya, dia
mengucapkan dengan lisannya Laa ilaha illallah Muhammadun
Rasulullah, dan meyakini bahwa setiap apa yang dibawa oleh beliau itu
adalah benar, serta dia berlepas diri dari dien selain dien Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia itu adalah muslim mukmin tidak ada nama lain.”
Maka
apakah para penyembah kuburan, orang-orang democrat, orang-orang
parlemen syirik, orang-orang pelindung thaghut dan kaki tangannya, serta
thaghut-thaghut dari kalangan yang mengaku Islam itu telah baraa’ah dari dien selain dien Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam???
Syaikh Abdullathif rahimahullah ketika menjelaskan ayat:
بَلَى
مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَلَهُ أَجْرُهُ عِنْدَ
رَبِّهِ وَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ (١١٢)
“(tidak
demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang
ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak
ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
(Al Baqarah: 112)
Beliau berkata: “Ayat ini merupakan bantahan kepada ‘ubbaadul qubuur wash shalihiin (para penyembah kuburan dan orang-orang shalih) yang beristighatsah dengan selain Allah lagi menyeru selain-Nya, karena penyerahan wajah kepada Allah serta ihsanul ’amal itu telah lepas dari diri mereka dan tidak ada pada dirinya.”
Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad rahimahullah berkata dalam Ad Durar As Saniyyah, 2/164: “Islam itu hakikatnya adalah seorang hamba menyerahkan hatinya dan anggota badannya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dan dia tunduk kepadanya dengan tauhid dan ketaatan, sebagaimana firman-Nya: “Tidak
demikian bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang
Ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi tuhannya.
Juga firman-Nya:
“Dan
barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang
yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul
tali yang kokoh.”
Sedangkan ihsaanul ‘amal itu haruslah mengandung ikhlash dan mutaaba’ah apa yang disyari’atkan oleh Allah dan Rasul-Nya.”
Bila
anda bertanya bagaimana status orang awam yang tidak hapal dalil, maka
jawabannya adalah bila orang awam itu komitmen dengan tauhid, mengetahui
bathilnya kemusyrikan yang ada di sekitarnya dengan keyakinan yang
penuh, juga dia menjauhinya, baraa’ah darinya dan sama sekali
tidak pernah melakukannya, maka dia itu adalah orang Muslim meskipun
tidak disertai dengan untaian dalil, Al Imam Al ‘Allamah Abdullah Aba Buthain rahimahullahberkata dalam Ad Durar As Saniyyah 10/409: “Sesunngguhnya orang awam yang tidak mengetahui dalil-dalil, bila dia meyakini wahdaniyyah Allah Subhanahu Wa Ta’ala, risalah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam,
beriman kepada kebangkitan setelah kematian, beriman kepada syurga dan
neraka, dan (meyakini) bahwa kemusyrikan-kemusyrikan ini yang dilakukan
di kuburan-kuburan keramat itu adalah bathil dan kesesatan, bila dia
meyakini itu dengan keyakinan pasti yang tidak ada keraguan di dalamnya,
maka dia itu adalah Muslim meskipun tidak menguatkan hal itu dengan
dalilnya.”
Jadi Islam itu menuntut anda untuk iman kepada Allah dan kafir terhadap thaghut. Apa arti iman kepada Allah, Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata dalam Risalah Fi Makna Thaghut
(lihat Majmu’atut Tauhid 10, Al Jami’ Al Fariid 308): “Adapun makna
iman kepada Allah adalah bahwa engaku meyakini bahwa Allah adalah
satu-satunya ilaah yang berhak untuk di ibadati, tidak
yang lain-Nya, engkau memurnikan semua macam ibadah hanya kepada-Nya dan
engkau menafikan dari segala yang disembah selain-Nya, engkau mencintai
ahli tauhid (ikhlash) dan loyal kepadanya, serta engkau membenci
pelaku-pelaku syirik dan memusuhinya.”
Apa arti kufur kepada thaghut, Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah
berkata dalam kitab-kitab yang sama: “Adapun tata cara kufur terhadap
thaghut itu adalah engkau meyakini bathilnya ibadah kepada selain Allah,
engkau meninggalkannya, membencinya, mengkafirkan pelakunya dan
memusuhi mereka itu.”
Ini sesuai dengan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam surat Al Mumtahanahayat 4:
قَدْ
كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ
إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ
مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ
الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ
“Sesungguhnya
telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang
yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka:
“Sesungguhnya Kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang
kamu sembah selain Allah, Kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata
antara Kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai
kamu beriman kepada Allah saja.” (Al Mumtahanah: 4)
Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah saat menjelaskan status orang-orang badui Nejd saat itu, beliau menjelaskan bahwa mereka itu seluruhnya telah bergelimang kemusyrikan dan kekafiran. Beliau jelaskan bahwa mereka itu hannya mengucapkan Laa ilaha illallah
saja tanpa komitmen dengan tuntutannya, dan orang-orang yang dipanggil
‘ulama-‘ulama di sana menganggap orang-orang badui tadi sebagai ahlul
Islam (orang-orang Islam), karena mengucdapkan Laa ilaha illallaah
padahal ‘ulama-‘ulama tadi mengakui bahwa yang dilakukan oleh
orang-orang badui itu adalah kemusyrikan, Syaikh Muhammad Ibnu Abdil
Wahhab menamakan ‘ulama-‘ulama tadi sebagai syayaathiin
(setan-setan), dan saat ada salah seorang dari badui itu yang belajar
Islam kepada beliau dan baru mengetahui sedikit tentang tauhid, maka
orang badui itu menerapkan ilmunya itu sebagaimana yang dikatakan oleh
Syaikh rahimahullah dalam Syarah Sittati Mawaadli Minas Sirah
point ke enam (lihat Al Jami’ Al Fariid 296): “Sungguh indah sekali apa
yang dikatakan oleh seoran arab badui itu, tatkala dia datanng kepada
kami dan telah mendengarr sedikit tentang Islam, dia berkata:
“Sesungguhnya saya bersaksi bahwa kami ini adalah orang-orang kafir
–yaitu dia dan seluruh orang badui tadi– dan saya bersaksi bahwa sang muthawwi’ (ustadz) itu yang menamakan kami sebagai pemeluk Islam, sesungguhnya dia adalah kafir.”
Di akhir tulisan ini saya ingin menyampaikan wasiat yang disampaikan oleh Syaikh Islam Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah dalam Ad Durar As Saniyyah
2/78: “Takutlah kalian wahai saudara-saudaraku kepada Allah, pegang
teguhlah pokok dien kalian, yang paling awal dan paling akhir, pangkal
dan kepalanya, yaitu syahadat Laa ilaha illallaah, ketahuilah
maknanya, cintailah orang-orang yang merealisasikannya dan jadikanlah
mereka itu sebagai saudara-saudara kalian meskipun mereka itu jauh.
Kafirlah kalian kepada thaghut-thaghut, musuhilah mereka itu, bencilah
orang yang mencintainya, atau orang yang membela-belanya, atau orang
yang tidak mau mengkafirkannya, atau orang yang mengatakan: “Tidak ada
urusan saya dengan mereka”, atau orang yang mengatakan:“Allah tidak
membebani saya untuk mengomentari mereka”, sungguh dia (orang yang
mengatakan itu) telah berdusta dan mengada-ada atas nama Allah, justeru
Allah telah membebaninya untuk mengomentari mereka, Dia telah
memfardlukan atas dia untuk kafir terhadap mereka serta baraa’ah dari mereka meskipun itu adalah saudara-saudara dan anak-anaknya sendiri.”
Saya
bertanya kepada anda: “Apakah iman kepada Allah dan kafir kepada
thaghut itu kewajiban ‘ulama saja atau kewajiban setiap insan?”.
Untuk
menghilangkan syubhat yang masih melekat serta menghilangkan tuduhan
yang tidak benar bahwa orang yang mengkafirkan orang yang berbuat syirik
akbar adalah Khawarij, maka ada baiknya saya mengutip perkataan Al Imam Abdullathif Ibbnu Abdirrahman Ibnu Hasan Ibnu Abdil Wahhab dalam kitabnya Mishbahudh Dhalaam
72, saat menanggapi tuduhan yang sama, beliau berkata: “Siapa orangnya
yang menjadikan pengkafiran (orang) karena berbuat syirik akbar bagian
dari hal ini (yaitu aqidah Khawarij), maka dia itu berarti telah mencela
para Rasul dan seluruh (‘ulama) umat (Islam) ini, dan dia tidak bisa
membedakan antara dien para Rasul dengan madzhab Khawarij, serta dia
telah meninggalkan nash-nash wahyu dan telah keluar dari jalan (ijma)
kaum mukminin.”
Ini adalah khulashaah
(kesimpulan) yang bisa saya sampaikan, mudah-mudahan bisa menjadi
penerang bagi yang masih berada di dalam kegelapan, dan menjadi
penghilang bagi syubhat yang ada, serta hujjah bagi kaum muwahhiddiin atas ahli bid’ah dan ahli syirik, juga penenang bagi kaum muwahiddiin yang selalu mendapatkan hujatan.
Insya
Allah materi selanjutnya tentang perbedaan antara musyrik dengan
musyrik kafir, makna tegaknya/sampainya hujjah dalam syirik akbar dan
kekafiran yang nyata. Semoga shalawat dan salam dilimpahkan kepada
rasul-Nya, dan akhir seruan kami Alhamdulillahi Rabbil ‘Aalamiin.
0 komentar:
Bismillahirrahmaanirrohiim
Sialahkan menanggapi dengan bahasa yang baik dan sopan... !