Syariah Islamiyah

Sabtu, 29 Desember 2012



  1. Muqodimah
شرع لكم من الدين ما وصى به نوحا والذي أوحينا إليك وما وصينا به إبراهيم وموسى وعيسى أن أقيموا الدين ولا تتفرقوا فيه كبر على المشركين ما تدعوهم إليه الله يجتبي إليه من يشاء ويهدي إليه من ينيب
Artinya :
“Dia telah mensyariatkan kamu tentang Dien apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah dien dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik dien yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada dien itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (dien) -Nya orang yang kembali (kepada-Nya)”.(QS.42:13)

read more
ثم جعلناك على شريعة من الأمر فاتبعها ولا تتبع أهواء الذين لا يعلمون
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui”. (QS.45:18)

وأنزلنا إليك الكتاب بالحق مصدقا لما بين يديه من الكتاب ومهيمنا عليه فاحكم بينهم بما أنزل الله ولا تتبع أهواءهم عما جاءك من الحق لكل جعلنا منكم شرعة ومنهاجا ولو شاء الله لجعلكم أمة واحدة ولكن ليبلوكم في ما آتاكم فاستبقوا الخيرات إلى الله مرجعكم جميعا فينبئكم بما كنتم فيه تختلفون
Artinya :
“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur'an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu”. (QS. 5:48)

  1. Pengertian Syariat
         Syariat secara bahasa berasal dari kata :
شَرَعَ – يَشْرَعُ – شَرْعًا ومَشْرَعًا
Artinya : menggariskan, membuat undang-undang,  jalan.

Jika kata syariat digandengkan dengan kata islam maka mempunyai makna undang-undang islam atau sering kita kenal dengan sebutan syariat islam.

Syariat islam adalah syariat (undang-undang) Allah yang dibawa oleh Ruhul amin kepada rosulnya untuk menjadi pemutus perkara-perkara yang diperselisihkan oleh umat manusia dibumi. Sebagaimana firman Allah SWT :
كان الناس أمة واحدة فبعث الله النبيين مبشرين ومنذرين وأنزل معهم الكتاب بالحق ليحكم بين الناس فيما اختلفوا فيه وما اختلف فيه إلا الذين أوتوه من بعد ما جاءتهم البينات بغيا بينهم فهدى الله الذين آمنوا لما اختلفوا فيه من الحق بإذنه والله يهدي من يشاء إلى صراط مستقيم
Artinya :
“Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus”. (QS. 2:213)

  1. Prinsip-prinsip syariat islam.

Gambaran syariat yang dinyatakan Al-qur’an, dijelaskan oleh as-sunah dan yang dipahami oleh para sahabat dan tabiin adalah gambaran yang hakiki tentang syariat islam yang sesungguhnya. Dimana syariat islam memiliki prinsip-prinsip dibawah ini :
3.1        ‘Adabul Harj
·         Syariat islam menghendaki kemudahan dan bukan kesukaran, berdasarkan firman Allah :
       يريد الله بكم اليسر ولا يريد بكم العسر
Artinya : “Allah menghendaki kemudahan bagi kalian dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian”. (QS.2:185)
·         Syariat islam menyingkirkan kesempitan dan bukan mendatangkan kesempitan. Berdasarkan firman Allah
يريد الله ليجعل عليكم من حرج ولكن يريد ليطهركم وليتم نعمته عليكم لعلكم تشكرون
   Artinya :
“Allah tidak hendak menyulitkan kalian, tetapi Dia hendak membersihkan kalian dan menyempurnakan kalimat-Nya bagi kalian supaya kalian bersyukur”. (QS.5:6)
وجاهدوا في الله حق جهاده هو اجتباكم وما جعل عليكم في الدين من حرج
Artinya :
“ Dan berjihadlah kamu (Dijalan) Allah dengan jihad sebenarnya. Dia telah memilihkalian dan Dia tidak menjadikan atas kalian Di dalam Dien suatu kesempitan”. (QS. 22:78)

3.2.      Taklifut –taklif (memperkecil beban)
Syariat islam menghendaki keringanan dan bukan memberatkan. Berdasarkan firman Allah :
يريد الله أن يخفف عنكم وخلق الإنسان ضعيفا
             Artinya :
“Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah”.(QS. 4:28)


    • Adanya Rukhsoh.
Diantara kemudahan yang menjadi landasan syariat, Dia memberikan rukhshoh, sebagaimana dijelaskan dalan sunah :
“Sesungguhnya Allah suka jika rukhshohnya dilaksanakan sebagaimana Dia tidak suka jika kedurhakaan kepada-Nya dilaksanakan” (HR. Ahmad, Ibnu Hiban & Baihaqy)

            Dalam hadits lain :
“Sesungguhnya Allah suka jika rukhshohnya dilaksakan sebagaimana Dia suka kehendaknya dilaksanakan” (HR. At-Tirmidzi & Hakim)

    • Memperbolehkan yang diharamkan jika dalam kondisi terpaksa.

Diantara kemudahan yang menjadi landasan syariat Dia juga memperbolehkan hal-hal yang dilarang jika dalam keadaan terpaksa  dan mendesak, sebagaimana firman Allah setelah menjelaskan keharaman bangkai, darah, daging babi dan binatang yang disembelih bukan karena Allah :

إنما حرم عليكم الميتة والدم ولحم الخنزير وما أهل به لغير الله فمن اضطر غير باغ ولا عاد فلا إثم عليه إن الله غفور رحيم

               Artinya :
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.(QS. 2:173)

3.3.            At-tadrij fit-tasyri’
Penetapan hukum secara bertahap.
Diantara jenis kemudahan syraiat, Dia juga menetapkan penahapan (gladuasi) dalam segala urusan  dalam meraih tujuan hukum tertentu. Contoh penahapan hukum keharaman khomer diera permulaan islam.
(QS. 2:219, QS 4:43, QS. 5:90)

3.4.Masholihul ammah (prinsip kemaslahatan ummat)

4.       Syariat Islam Penyempurna Syariat samawiyah sebelumnya.
            Seluruh syariah ditinjau dari aspek aqidah, dasar pokok ibadah, akhlaq memiliki konsep yang sama ( Identikal) QS. 30:30/7:172/4:165/35:24/
3:81
4.2.Syariah samawiyah ditinjau dari aspek hukum, tiap para nabi / rosul berbeda beda sesuai dengan tingkat budaya dan kondisi lokal bangsa/kaumnya. QS.14:4/ 5:48 /7:158
4.3.Syariat yang dibawa Nabi Muhammad saw. Adalah syariah yang paling paripurna dan bernuansa rahmatan lilalamin. QS. 21:107/22:78/34:28/5:3/
          2:208/16:89

5.       Perbedaan Syariah samawiyah (tasyri uluhiyyah) dengan tasyri wadh’i.

Ada dua macam pembentukan hukum Islam dalam sebuah Negara  yaitu tasyri Uluhiyyah dan tasyri Wadh’iyyah .

a.       Tasyri Uluhiyyah ialah perundang-undangan Negara Islam yang dibentuk khusus dari sumber dalil-dalil yang Qoth’i Al-Qur’an dan hadits shahih.
     Pembentukan  hukum ini khusus dalam mengatur peribadatan yang sifatnya  mahdhah atau Ritualitas.
b.      Tasyri Wadh’iyah ialah hukum/perundang-undangan  Negara Islam yang dibentuk dari sumber-sumber hukum Al-qur’an (Isyarah wahyu) hadits shahih  (isyarah amaliyah) dan ijtihad para khalifah  Negara  Islam sebelumnya atau dalam pemerintahan Islam yang sedang berlangsung.

6.       Sumber-sumber hukum dalam syariat Islam

Secara lengkap sumber hukum Islam itu terdiri dari :
1).    Al-Qur’anul kariim (kitabullah)
2).    Hadits Shahih Rosulullah (Sunnah Rasul)
3).    Ijtihad para Khalifah dan ahli hukum (ijma)
4).    Maslahatul Mursalah (setiap solusi dari berbagai masalah  yang timbul pada sebuah Negara sebagai akibat perkembangan penduduk, tekhnologi dan budaya)

Subjek Tasyri adalah pemerintah, dan objek tasyri adalah warga Negara, dan tujuan tasyri adalah untuk menciptakan keadilan dan kehidupan sejahtera lahir dan bathin secara kondusif.
Lihat dan fahami Al-Qur ‘an :
Q.S. 17:106/42:37 – 38/3:159/4:135 -136/5:8/16:90

7.       Kapasitas syariah islam dalam dimensi hukum dan kehidupan sosial.     
Di dalam istilah syara hukum-hukum selain ibadah disebut hukum muamalah (ahkamul muamalah).
Hukum muamalah meliputi beberapa aspek, diantaranya ;
1.                            Ahkamul ahwalisy-syahsiyah, hukum-hukum yan berhubungan dengan keluarga, hubungan suami istri dan famili. Didalam al-qur’an ada sekitar 70 ayat yang membicarakan hukum ini.
2.                            Ahkamul madniyah (hukum perdata), yakni yang berhubungan dengan muamalah antar individu, masyarakat dan kelompok, misalnya jual-beli, sewa menyewa,pengagunan,sirkah, hutang piutang, memenuhi janji, dan tanggung jawab. Didalam al-qur’an ada 70 ayat yang membicarakan hukum ini.
3.                            Ahkamul jinayah (hukum pidana), yakni yang berkaitan dengan kejahatan yang dilakukan mukalaf dan sangsi pidana. Ada sekitar 30 ayat yang membicarakan hukum semacam ini.
4.                            Ahkamul murofa’ah (hukum acara) yakni berhubungan dengan peradilan, masalah saksi dan sumpah. Di dalam al-qur’an terdapat 13 ayat yang mangatur hukum ini.
5.                            Ahkamud dusturiyyah (Hukum perundang-undangan) yakni mengatur dan memberikan batasan bagi hakim dan terdakwa serta penerapan hak-hak pribadi dan masyarakat. Di dalam al-qur’an terdapat 10 ayat yang membicarakan hukum semacam ini.
6.                            Ahkamud dauliyah (hukum kenegaraan) yakni hukum yang mengatur hubungan antar negara islam dengan negara non islam ( kafir) serta pergaulan muslim dengan non muslim. Di dalam Al-qur’an terdapat 25 ayat yang membicarakan hukum seperti ini.
7.                            Ahkamul iqtishodiyah (hukum ekonomi dan harta benda) Dimaksud dengan hukum ini ialah yang mengatur hubungan antar pihak miskin dengan pihak kaya  atau negara dan individu. Didalam al-qur’an terdapat 10 ayat yang membicarakan hukum ini.


8. Wajibnya berhukum dengan hukum islam.

Fatwa para ulama kontemporer


1.                        Syaikh Muhammad bin Ibrahim dalam risalah beliau Tahkimul Qawanin, "Sesungguhnya termasuk kafir akbar yang sudah nyata adalah memposisikan undang-undang positif yang terlaknat kepada posisi apa yang dibawa oleh ruhul amien (Jibril) kepada hati Muhammad supaya menjadi peringatan dengan bahasa arab yang jelas dalam menutuskan perkara di antara manusia dan mengembalikan perselisihan kepadanya, karena telah menentang firman Allah :

فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ ذَلِكَ خَيْرُُ وَأَحْسَنُ تَأْوِيــــــلاً
"…Maka jika kalian berselisih dalam suatu, kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir…" [Risalatu Tahkimil Qawanin hal. 5].

Beliau juga mengatakan dalam risalah yang sama, ….”Para hakim memutuskan perkara mereka dengan hukum yang menyelisihi hukum Al Qur'an dan As Sunah, dengan berpegangan kepada undang-undang positif tersebut. Bahkan para hakim ini mewajibkan dan mengharuskan masyarakat (untuk menyelesaikan segala kasus dengan undang-undang tersebut) serta mereka mengakui keabsahan undang-undang tersebut. Adakah kekufuran yang lebih besar dari hal ini? Penentangan mana lagi terhadap Al Qur'an dan As Sunah yang lebih berat dari penentangan  mereka seperti ini dan pembatal syahadat "Muhammad adalah utusan Allah" mana lagi yang lebih besar dari hal ini?"[1]
2.                        Syaikh Ahmad Syakir mengomentari perkataan Ibnu Katsir tentang IlYasiq yang menjadi hukum bangsa Tartar sebagaimana telah dinukil di depan, "Apakah kalian tidak melihat pensifatan yang kuat dari Al Hafidz Ibnu Katsir pada abad kedelapan hijriyah terhadap undang-undang postif yang ditetapkan oleh musuh Islam Jengish Khan? Bukankah kalian melihatnya mensifati kondisi umat Islam pada abad empat belas hijriyah? Kecuali satu perbedaan saja yang kami nyatakan tadi ; hukum Ilyasiq hanya terjadi pada sebuah generasi penguasa yang menyelusup dalam umat Islam dan segera hilang pengaruhnya. Namun kondisi kaum  muslimin saat ini lebih buruk dan lebih dzalim dari mereka  karena kebanyakan umat Islam hari ini telah masuk dalam hukum yang menyelisihi syariah Islam ini, sebuah hukum yang paling menyerupai Ilyasiq yang ditetapkan oleh seorang laki-laki kafir yang telah jelas kekafirannya….Sesungguhnya urusan hukum positif ini telah jelas layaknya matahari di siang bolong, yaitu kufur yang nyata tak ada yang tersembunyi di dalamnya dan tak ada yang membingungkan. Tidak ada udzur bagi siapa pun yang mengaku dirinya muslim dalam berbuat dengannya, atau tunduk kepadanya atau mengakuinya. Maka berhati-hatilah, setiap individu menjadi pengawas atas dirinya sendiri."[2]
Beliau juga mengatakan :
“ UUD yang ditetapkan musuh-musuh Islam dan mereka wajibkan atas kaum muslimin.. pada hakekatnya tak lain adalah agama baru, mereka membuatnya  sebagai ganti dari agama kaum muslimin yang bersih dan mulia, karena mereka telah mewajibkan kaum muslimin mentaati UUD tersebut, mereka menanamkan dalam hati kaum muslimin rasa cinta kepada UU tersebut, mensakralkannya dan fanatisme dengannya sampai akhirnya terbiasa dikatakan melalui lisan dan tulisan  kalimat-kalimat " Pensakralan UUD",  " Kewibawaan lembaga peradilan " dan kalimat-kalimat semisal. Lalu mereka menyebut UUD dan aturan-aturan ini dengan kata  "fiqih dan faqih" "tasyri' dan musyari' " dan kalimat-kalimat semisal yang dipakai ulama Islam untuk syariah Islam dan para ulama syariah."[3]
3.                        Syaikh Muhammad Amien Asy Syinqithi dalam tafsirnya ketika menafsirkan firman Allah, "Dan tidak mengambil seorangpun sebagai sekutu Allah dalam menetapkan keputusan." [QS. Al Kahfi :26] dan setelah menyebutkan beberapa ayat yang menunjukkan bahwa menetapkan undang-undang bagi selain Allah adalah kekafiran, beliau berkata, "Dengan nash-nash samawi  yang kami sebutkan ini sangat jelas bahwa orang-orang yang mengikuti hukum-hukum positif yang ditetapkan oleh setan melalui lisan wali-wali-Nya, menyelisihi apa yang Allah syari’atkan melalui lisan Rasul-Nya. Tak ada seorangpun yang meragukan kekafiran dan kesyirikannya, kecuali orang-orang yang telah Allah hapuskan bashirahnya dan Allah padamkan cahaya wahyu atas diri mereka."[4]
Syaikh Al Syinqithi juga berkata :
" Berbuat syirik kepada Allah dalam masalah hukum dan berbuat syirik dalam masalah beribadah itu maknanya sama, sama sekali tak ada perbedaan antara keduanya. Orang yang mengikuti UU selain UU Allah dan tasyri' selain tasyri' Allah adalah seperti orang yang menyembah berhala dan sujud kepada berhala, antara keduanya sama sekali tidak ada perbedaan dari satu sisi sekalipun,. Keduanya satu (sama saja) dan keduanya musyrik kepada Allah."[5]
4.                        Syaikh Shalih bin Ibrahim Al Bulaihi dalam hasyiyah beliau atas Zadul Mustaqni', yang terkenal dengan nama Al Salsabil fi Ma'rifati Dalil, mengatakan, "…Berhukum dengan hukum-hukum positif yang menyelisihi syari’at Islam adalah sebuah penyelewengan, kekafiran, kerusakan dan kedzaliman bagi para hamba. Tak akan ada keamanan dan hak-hak yang terlindungi, kecuali dengan dipraktekkanmya syariah Islam secara keseluruhannya ; aqidahnya, ibadahnya, hukum-hukumnya, akhlaknya dan aturan-aturannya. Berhukum dengan selain hukum Allah berarti berhukum dengan hukum buatan manusia untuk manusia sepertinya, berarti berhukum dengan hukum-hukum thaghut…tak ada bedanya antara ahwal sakhsiah (masalah nikah,cerai, ruju'--pent) dengan hukum-hukum bagi individu dan bersama… barang siapa membeda-bedakan hukum antara ketiga hal ini, berarti ia seorang atheis, zindiq dan kafir kepada Allah Yang Maha Agung."[6]
5.                        Syaikh Abdul Aziz bin Baz dalam risalah beliau "Naqdu Al Qaumiyah Al 'Arabiyah " (Kritik atas nasionalisme Arab) mengatakan, "Alasan keempat yang menegaskan batilnya seruan nasionalisme arab : seruan kepada nasionalisme arab dan bergabung di sekitar bendera nasionalisme arab pasti akan mengakibatkan masyarakat menolak hukum Al Qur'an. Sebabnya karena orang-orang nasionalis non muslim tidak akan pernah ridha bila Al Qur'an dijadikan undang-undang. Hal ini memaksa para pemimpin nasionalisme untuk menetapkan hukum-hukum positif yang menyelisihi hukum Al Qur'an . Hukum positif tersebut menyamakan kedudukan seluruh anggota masyarakat nasionalis di hadapan hukum. Hal ini telah sering ditegaskan oleh mereka. Ini adalah kerusakan yang besar, kekafiran yang nyata dan jelas-jelas murtad."[7]
6.                        Syaikh Abdullah bin Humaid mengatakan, "Siapa menetapkan undang-undang umum yang diwajibkan atas rakyat, yang bertentangan dengan hukum Allah ; berarti telah keluar dari milah dan kafir."[8]
7.                        Syaikh Muhammad Hamid Al Faqi dalam komentar beliau atas Fathul Majid mengatakan, "Kesimpulan yang diambil dari perkataan ulama salaf bahwa thaghut adalah setiap hal yang memalingkan hamba dan menghalanginya dari beribadah kepada Allah, memurnikan dien dan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya…Tidak diragukan lagi, termasuk dalam kategori thaghut adalah berhukum dengan hukum-hukum asing di luar syari’at Islam, dan hukum-hukum positif lainnya yang dtetapkan oleh manusia untuk mengatur masalah darah, kemaluan dan harta, untuk menihilkan syari’at Allah berupa penegakan hudud, pengharaman riba, zina, minuman keras dan lain sebagainya. Hukum-hukum positif ini menghalalkannya dan mempergunakan kekuatannya untuk mempraktekkannya. Hukum dan undang-undang positif ini sendiri adalah thaghut, sebagaimana orang-orang yang menetapkan dan melariskannya juga merupakan thaghut…"[9]
Beliau juga menyatakan dalam Fathul Majid saat mengomentari perkataan Ibnu katsir tentang Ilyasiq, "Yang seperti ini dan bahkan lebih buruk lagi adalah orang yang menjadikan hukum Perancis sebagai hukum yang mengatur darah, kemaluan dan harta manusia, mendahulukannya atas kitabullah dan sunah Rasulullah. Tak diragukan lagi, orang ini telah kafir dan murtad jika terus berbuat seperti itu dan tidak kembali kepada hukum yang diturunkan Allah. Nama apapun yang ia sandang dan amalan lahir apapun yang ia kerjakan baik itu sholat, shiyam dan sebagainya, sama sekali tak bermanfaat ba-ginya…".[10]   
8- Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin mengatakan, "Barang siapa tidak berhukum de-ngan hukum yang diturunkan Allah karena menganggap hukum Allah itu sepele, atau me-remehkannya, atau meyakini bahwa selain hukum Allah lebih baik dan bermanfaat bagi manusia, maka ia telah kafir dengan kekafiran yang mengeluarkan dari milah. Termasuk dalam golongan ini adalah mereka yang menetapkan untuk rakyatnya perundang-undangan yang menyelisihi syari’at Islam, supaya menjadi sistem perundang-undangan negara. Mereka tidak menetapkan perundang-unda-ngan yang menyelisihi syari’at Islam kecuali karena mereka meyakini bahwa perundang-undangan tersebut lebih baik dan bermanfaat bagi rakyat. Sudah menjadi askioma akal dan pembawaan fitrah, manusia tak akan berpaling dari sebuah sistem kepada sistem lain kecuali karena ia meyakini kelebihan sistem yang ia anut dan kelemahan sistem yang ia tinggalkan."[11]
9- Syaikh Abu Shuhaib Abdul Aziz bin Shuhaib Al Maliki sendiri telah mengumpulkan fatwa lebih dari 200 ulama salaf dan kontemporer yang menyatakan murtadnya pemerintahan yang menetapkan undang-undang positif sebagai pengganti dari syariah Islam, dalam buku beliau Aqwaalu Aimmah wa Du’at fi Bayaani Riddati Man Baddala Syariah Ninal Hukkam Ath Thughat.

أفحكم الجاهلية يبغون ومن أحسن من الله حكما لقوم يوقنون
Artinya :
Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS.5:50)

والله أعلام


[1] -  Tahkimul Qawanien hal. 20-21
[2] -  Umdatu Tafsir IV/173-174
[3] . Umdatu Tafsir 3/124, secara ringkas. Dinukil dari Nawaqidhul Iman Al Qauliyah wal ‘Amaliyah hal. 315, Dr. Abdul Aziz bin Muhammad bin Ali Alu Abdul lathif, Daarul Wathan, 1414 H.
[4] - Adhwaul Bayan IV/92
[5] . Al Hakimiyah fie Tafsiri Adhwail Bayan, karya Abdurahman As Sudais hal. 52-53, dengan ringkas, lihat juga Adhwaul Bayan 7/162.
[6] -  As Salsabil  II/384
[7] - Majmu' Fatawa wa Maqolat Mutanawi'ah lisyaikh Ibni Baz I/309
[8] - lihat Ahamiyatul Jihad Fi Nasyri Ad Da'wah hal. 196, D. 'Ali Nufai' Al 'Ulyani
[9] - Fathul Majid hal. 337, Daarul Fikr, 1412 H.
[10] - Fathul Majid hal. 477.
[11] -  Majmu' Fatawa wa Rasail Syaikh Ibnu Utsaimin II/143
Sebarkan artikel ini :

0 komentar:

Bismillahirrahmaanirrohiim

Sialahkan menanggapi dengan bahasa yang baik dan sopan... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Al-Islam - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Inspired by Sportapolis Shape5.com
Proudly powered by Blogger